A. Model Formulasi Kebijakan “Advocacy Coalition Framework (ACF)
Advocacy Coalition Framework atau ACF merupakan model sistem yang berbasis menghubungkan tahapan siklus model kebijakan melalui pendekatan top down dan bottom up (Esa, 2016:256). Pendekatan tersebut sangat cocok untuk digunakan bagi pemangku kebijakan dengan memperhatikan kerjasama antar kepentingan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Menurut Howlet dan Ramesh dalam Tamrin (2017:145), ACF sebagai sekelompok pengambil kebijakan dalam subsistem kebijakan. Aktor-aktor yang ada terdiri dari pelaku kepentingan instansi pemerinta dan swasta maupun organisasi masyarakat yang berhubungan atas dasar pencapaian tujuan bersama.
Model Formulasi ACF dibentuk pada tahun 1988, pada masa itu penggunaan teori ACF berkaitan dengan kebijakan energi dan lingkungan di Amerika Serikat, Kanada, dan Eropa membahas isu polusi, udara, kebijakan kelautan, kebijakan air dan mineral serta perubahan iklim. Seiring berjalannya waktu, penerapan ACR berkembang pada area diluar kebijakan tersebut seperti kekerasan dalam rumah tangga, kebijakan narkoba, dan Kesehatan publik. Peningkatan jumlah peneliti juga meningkat pada Negara Asia, Afrika.
Menurut Sabatier dan Weible dalam Fischer, Miller & Sidney (2007), mengemukakan masalah-masalah yang terjadi secara intens dapat dikembangkan melalui pembuatan kebijakan melalui ACF. ACF sebagai model yang di anggap mampu untuk memahami dan menjelaskan perubahan kebijakan Ketika ketidaksepakatan antar pemilik kepentingan untuk tujuan tertentu. Teori ACF mementingkan kedua belah pihak untuk menghasilkan win win solution terhadap kebijakan yang akan diterapkan.
ACF menjelaskan proses implementasi dan perubahan kebijakan publik serta memfokuskan subsistem kebijakan sebagai unit analisis utamanya. Penyebab perubahan kebijakan yang terjadi dalam koalisi advokasi karena adanya perubahan-perubahan yang bersumber dari eksternal sehingga memungkinkan kekuasaan dapat membentuk sistem kepercayaan seseorang atas orang lainnya. Pemahaman terhadap perubahan kebijakan melalui pendekatan dapat menyeluruh dari proses, implementasi sampai perubahan kebijakan (Sabatier dalam Aslinda, 2017:630). Penjelasan lebih detail terkait model formulasi kebijakan yang diadposi oleh Sabatier bahwa ACF memiliki komponen yang saling berinteraksi untuk mempengaruhi keyakinan dan perubahan kebijakan. Salah satu cara terbaik untuk memahami, mempelajari, dan menggunakan ACF adalah diagram alir sebagai berikut:
Gambar 1.1 Diagram ACF
Sumber: Sumber: Sabatier dan Jenkins-Smith, 1999
Dari gambar di atas, dapat dilihat adanya komponen-komponen yang saling berpengaruh terjadap komponen lainnya. ACF menetapkan permasalahan yang menjadi fokus dari munculnya suatu kebijakan seperti halnya permasalahan lingkungan dan perubahan kebijakan. Tujuan dari teori ini, yaitu pertama, mengunakan dan mengembangkan informasi pada suatu model alternatif kebijakan yang didukung oleh koalisi. Kedua, ACF memanipulasi forum keputusan, dan ketiga, berusaha untuk mencoba mencari dukungan birokrasi yang dijadikan sebagai anggota koalisinya (Esa, 2016:260). Adanya kepercayaan yang muncul berawal dari kerjasama dan mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam ACF duntuk mencapai proses perubahan kebijakan (policy change) sangat diperlukan dan memetakan actor-aktor yang terlibat dalam kebijakan tersebut.
ACF menetapkan model individu dan rasional untuk kemampuan terbatas yang merangsang proses kebijakan publik. Model individu ACF memotivsi actor kebijakan untuk mencari lawan yang berpikiran sama dan membentuk koalisi advokasi. Dalam individu memiliki sistem kepercayaan hierarki. Pada tingkat teratas yakni keyakinan normative atau fundamental yang mencakup subsistem kebijakan dan sangat tahan terhadap kebijakan. ditingkat menengah mengarah pada inti kebijakan yang empiris mencakup seluruh subsistem kebijakan. ACF mengidentifikasi sebelas kategori keyakinan inti kebijakan, termasuk persepsi tingkat keparahan dan penyebab masalah di seluruh subsistem, orientasi pada prioritas nilai dasar yang secara langsung terkait dengan subsistem kebijakan, efektivitas instrumen kebijakan, dan distribusi kewenangan yang tepat antara pasar dan pemerintah (Fischer dkk, 2007).
Formulasi ACF mengharuskan para kepentingan untuk saling bekerjasama (koalisi), namun dalam interaksinya subsistem kebijakan menimbulkan persaingan yang kompetitif, perselisihan kebijakan antara koalisi advokasi sering bereskalasi menjadi konflik politik yang intens. Konflik antar koalisi ini dimediasi oleh “broker kebijakan”. Broker kebijakan berusaha untuk mencari kompromi yang masuk akal diantara koalisi yang berseberangan. Banyak aktor yang berbeda yang juga memainkan peran broker kebijakan. Kebijakan broker biasanya dipercaya oleh kedua koalisi dan memiliki otoritas pengambilan keputusan. Kondisi ini hanya dapat teratasi dengan kemunculan penengah mediasi antara dua koalisi tersebut dan penengah kebijakan yang bisa memberikan solusi yang terbaik.
Perubahan kebijakan dalam koalisi advokasi disebabkan oleh perubahan eksternal yang meempengaruhi kepercayaan seseorang. ACF memiliki periode waktu yang panjang dari mulai proses kebijakan, sampai implementasi kebijakan, dan untuk memahami perubahan kebijakan dalam periode waktu yang panjang. Menurut Esa (2016:260) menyatakan bahwa faktor eksternal dapat berpotensi menentukan perubahan kebijakan yang akan dimonitoring dari waktu ke waktu. Perubahan kebijakan memiliki karakteristik seperti Policy Oriented Learning (POL) yakni perbaikan kebijakan. perbaikan kebijakan tersebut melibatkan actor kepentingan yang berimplikasi pada gagasan atau ide yang berkontribusi pada proses kebijakan sehingga menghasilkan ouput yang nyata dan outcome dari hubungan koalisi.
B. Penertiban PKL di Kawasan Malioboro
Kota Yogyakarta merupakan Kota Pelajar dan Kota Pariwisata. Banyaknya tempat objek wisata yang ada di Yogyakarta menarik minat wisatawan untuk berkunjung. Malioboro sebagai tempat icon wisata yang sangat terkenal di Yogyakarta. Kawasan malioboro selalu dipadati oleh para wisatwan untuk berwisata, maupun berbelanja membeli souvenir/oleh-oleh khas jogja. Keramaian malioboro tidak terlepas dari banyaknya para pedagang Kaki Lima (PKL) yang berjualan seperti kerajinan, tas, sepatu, batik, gantungan kunci, makanan dan minuman dan sebagainya.
Keberadaan PKL pada dasarnya mengangkat ekonomi lokal warga sekitar. Disisi lain PKL diharapkan dapat menjaga kebersihan, ketertiban, kenyamanan dan keindahan sehingga mendukung malioboro menjadi icon pariwisata. Namun dalam pelaksanaannya Kawasan malioboro masih memiliki problem terkait ketertiban PKL yang mengganggu fasilitas trotoar, sehingga para pejalan kaki tidak nyaman dan sulit mendapatkan tempat akibat para PKL berjualan sembarangan. Melihat permasalahan tersebut Pemerintah Kota Yogyakarta berusaha melakukan perencanaan untuk menata Kawasan malioboro dengan melibatkan para PKL untuk dapat memberikan ruang bagi pejalan kaki.
Pemerintah Kota Yogyakarta mengeluarkan perda, yaitu Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 37 Tahun 2010 Tentang Penataan Pedagang Kaki Lima Kawasan Khusus Malioboro - A. Yani. Perda tersebut berisi tentang penataan Kawasan yang boleh digunakan oleh para PKL dan Kawasan yang dilarang untuk berjualan. Menurut Perwali tersebut pedagang kaki lima sebagai penjual barang dan atau jasa yang secara perorangan berusaha dalam kegiatan ekonomi yang menggunakan daerah milik jalan atau fasilitas umum dan bersifat sementara/tidak menetap dengan menggunakan peralatan bergerak maupun tidak bergerak. Dengan demikian, para PKL harus memiliki lapak usaha dengan izin penggunaan lokasi PKL dan syarat tempat usaha berbentuk bongkar pasang.
Relevansi dengan teori Advocacy Coalition Framework ialah adanya kerjasama atau koalisi yang dibangun dalam mendukung implementasi kebijakan tersebut dalam mencapai tujuan Bersama dan saling menguntungkan satu sama lain. Alasan dalam penataan Kawasan malioboro sebagai bentuk mengakui keberadaan PKL dan sebagai dasar hukum, untuk memfasilitasi dan membina para PKL. Actor-aktor yang terlibat dalam ACF, Koalisi A yaitu UPT Malioboro dan Satpol PP. Sedangkan Koalisi B, yaitu, organisasi paguyuban PKL Malioboro dan Koperasi Tri Dharma Yogyakarta. dan Broker Kebijakan, yakni Lembaga Pemberdayaan Komunitas Kawasan Malioboro (LPKKM) dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK) sebagai Lembaga sosial masyarakat untuk mewadahi partisipasi masyarakat yang dimitrai oleh kelurahan.
Para PKL yang melanggar peraturan tersebut akan mendapatkan hukuman yang diatur dalam pasal 3 ayat (1), Pasal 6 dan Pasal 8 Peraturan Daerah ini, diancam dengan pidana kurungan paling lambat 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah). Selain itu, pemerintah juga memiliki hak untuk mencabut izin usaha pedagang kaki lima dan menutup lokasi usaha yang selain lokasi yang telah diizinkan.
Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dengan berkoalisi pihak swasta maupun masyarakat. sebagai langkah untuk mewujudkan pedestarian Kawasan malioboro. Output nyata yang diharapkan dari penataan PKL malioboro, yaitu memberikan kenyamanan bagi para wisatawan yang berkunjung dan bentuk pengakuan PKL yang secara legal mendapatkan izin usaha. Outcome sebagai dampak atau manfaat dari adanya penataan ini ialah mewujudkan pedestarian dan proses pembinaan terhadap para PKL di kawasan malioboro.
C. Argumen
Model Formulasi kebijakan menggunakan teori Advocacy Coalition Framework sangat berguna untuk mendapatkan solusi terbaik bagi para pemangku kepentingan. Teori ACF melakukan pendekatan kedua belah pihak Pemerintah-swasta sebagai cara untuk merealisasikan tujuan Bersama. ACF memiliki periode waktu yang panjang dari mulai proses sampai dengan perubahan kebijakan. perbaikan kedepan sangat penting dalam menanggapi tuntutan yang ada, sehingga output dan outcome dapat tercapai.
Komponen-komponen yang disajikan oleh Sabatier menunjukan bahwa adanya keterkaitan antar komponen. Dari mulai tahapan parameter sistem stabil memiliki jangka waktu yang lama, menyusun sifat masalah, membatasi sumber daya yang tersedia bagi peserta kebijakan, menetapkan aturan dan prosedur untuk mengubah kebijakan dan mencapai keputusan kolektif, dan secara luas membingkai nilai-nilai yang menginformasikan pembuatan kebijakan. Adanya perubahan kebijakan, pemetaan policy subsistem antara kubu koalisi kepentingan dengan ditengahi oleh broker kebijakan, sampai pada output dan outcome tujuan dari kebijakan tersebut.
Teori ACF merefleksikan bagaimana pengaruh kebijakan dalam penataan Kawasan malioboro. Malioboro sebagai tempat yang dapat diakses oleh publik. Keberadaan para PKL bukanlah menjadi penyakit pemerintah melainkan sebagai potensi untuk mengembangkan ekonomi lokal warga sekitar. Hadirnya Peraturan Walikota Nomor 37 Tahun 2010 sebagai upaya untuk menata dan membina para PKL agar dapat mewujudkan malioboro yang mengedepankan hak pejalan kaki. Kesemrawutan malioboro yang identik sebagai pasar (kotor, sampah dimana-mana, bau) dan PKL ilegal yang tidak memiliki izin usaha, harus dapat segera ditindak lanjuti dengan komitmen dan konsistensi pemerintah dalam menegakan perwali tersebut. Peran koalisi sangat berguna untuk mengedepankan aspirasi dan partisipasi pelaku usaha sehingga hasil dari kebijakan tersebut dapat menghasilkan kebijakan yang sesuai dengan tujuan bersama.
REFERENSI
Fischer, Frank. Miller, Gerald J. & Sidney, Mara S. (2007). Handbook of Public Policy Analisis. CRC Press.
Esa, Radin Fadhillah. (2016). Pertarungan Kepentingan Politik Dalam Perumusan RPJM Daerah Kabupaten Mojokerto Tahun 2011-2015. Jurnal Politik Muda. http://repository.unair.ac.id/id/eprint/45810
Tamrin, M. Husni. (2017). Interaksi Aktor Kebijakan dalam Pengelolaan Wilayah Jembatan Suramadu dalam Perspektif Advocacy Coalition Framework (ACF). Jurnal Kebijakan dan Manajemen Publik. https://doi.org/10.21070/jkmp.v5i2.1312