Strategi Pemanfaatan Lahan Pada Daerah Rawan Longsor
(Studi Kasus Gununglurah, Cilongok, Banyumas)
*Esa Septian
ABSTRAK
Perkembangan wilayah perkotaan berdampak pada perkembangan pemanfaatan lahan di wilayah perdesaan. Hal tersbeut menyebabkan pengaruh sosial masyarakat dalam bermukim yang tidak jauh dari lokasi kegiatan untuk pemenuhan ekonomi menjadikan masyarakat bersikukuh untuk bermukim di daerah yang tidak layak huni.
Kejadian alam dalam bentuk erosi dan tanah longsor merupakan salah satu faktor penghambat dalam kaitannya dengan pengembangan wilayah. Disisi lain masyarakat memerlukan lahan tersebut dalam upaya pemenuhan kebutuhan ekonominya. Oleh karena itu perlu upaya perencanaan pemanfaatan ruang, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan lahan yang dapat menyeimbangkan antara karakterisitik fisik alam dengan manfaat ekonomi dari lahan tersebut. Tujuan penelitian adalah mengkaji pemanfaatan lahan pada daerah rawan bencana tanah longsor di Gununglurah, Cilongok, Banyumas. Hasil akhir penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar rekomendasi dalam pengendalian pemanfaatan lahan pada daerah rawan bencana tanah longsor.
Penelitian ini mengarah pada pendekatan teori untuk melakukan analisi, secara kualitatif deskriptif. Analisis deskriptif kualitatif digunakan untuk menganalisis karakteristik fisik alam, tingkat kapasitas dan kerentanan masyarakat, alasan pemanfaatan lahan pada daerah rawan bencana tanah longsor dan kebijakan penataan ruang, Berdasarkan hasil analisis diperoleh hasil bahwa karakteristik fisik alam mempengaruhi sebagian masyarakat dalam menentukan jenis pekerjaan yaitu petani dan buruh tani yang akan berpengaruh pula pada tingkat pendapatan mereka. Jenis pekerjaan, tingkat pendidikan dan pendapatan, sosial kemasyarakatan, pemahanan terhadap lingkungan dan tingkat aksesibilitas berpengaruh terhadap tingkat kapasitas dan kerentanan masyarakat.
Secara umum tingkat kapasitas masyarakat masih rendah dan tingkat kerentanan masyarakat dalam menghadapi kemungkinan bencana relatif tinggi. Daerah penelitian mempunyai tingkat potensi bencana tanah longsor rendah sampai tinggi. Pemanfaatan lahan di daerah penelitian didasarkan pada faktor turun-temurun, nilai lahan yang ada dan kondisi lingkungan yang masih alami serta tingkat kapasitas dan kerentanan masyarakat. Kondisi daerah yang mempunyai potensi tanah longsor dan aktivitas masyarakat akan memicu daerah penelitian mempunyai tingkat resiko bencana tanah longsor tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian, diperlukan rekomendasi perlunya upaya peningkatan kapasitas dan mengurangi kerentanan masyarakat sehingga sumber daya manusia meningkat dan masyarakat dapat memahami kondisi alam. Perlunya pengembalian fungsi kawasan lindung dan pengendalian aktivitas pada kawasan penyangga sehingga tidak terjadi pembebanan tanah dan penegasan regulasi penataan ruang agar lebih mudah dalam pengendalian pemanfaatan lahan. Perlunya upaya relokasi agar masyarakat mendapat permukiman yang layak huni.
Kata Kunci: Pemanfaatan lahan, Bencana Longsor
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Degradasi lingkungan, khususnya lingkungan fisik, akan memicu terjadinya bencana alam. Terjadinya degradasi ini karena pemanfaatan sumberdaya alam yang melebihi daya dukungnya akibat dari pertumbuhan penduduk yang cepat dan pembangunan yang pesat. Fenomena bencana alam menjadi ancaman bagi keberlangsungan lingkungan karena frekuensi kejadiannya yang meluas di banyak negara dan telah menimbulkan dampak yang luar biasa baik bagi manusia maupun lingkungannya. Bahkan Indonesia telah menyusun undang-undang khusus tentang penanggulangan bencana. Ini dilakukan karena frekuensi kejadian bencana dan dampaknya yang perlu ditangani secara serius. Undang- Undang Penanggulangan Bencana tahun 2007 menjelaskan bahwa kerusakan lingkungan merupakan salah satu akibat yang harus dialami saat bencana alam terjadi.
Kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dapat berupa rusaknya kawasan budi daya seperti persawahan, perkebunan, peternakan dan pertambangan, terjadinya erosi, tanah longsor, kebakaran hutan, perubahan bentang alam, pendangkalan sungai, hilangnya sejumlah spesies, rusaknya berbagai habitat flora dan fauna hingga kerusakan ekosistem. Gagalnya fungsi ekosistem tidak dapat lagi mendukung kehidupan masyarakat. Kualitas kesejahteraan menurun drastis berikut dengan kesehatan dan pendidikan, bahkan manusia sebagai pengelola lingkungan hidup juga terancam jiwa dan keselamatannya saat bencana terjadi. Sebagian besar bencana alam merupakan fenomena yang tidak dapat dicegah oleh manusia, namun resiko akibat bencana tersebut dapat diminimalisasi atau dikurangi. Salah satu caranya adalah dengan melakukan mitigasi bencana.
Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Mitigasi bencana merupakan suatu aktivitas yang berperan sebagai tindakan pengurangan dampak bencana, atau usaha-usaha yang dilakukan untuk megurangi korban ketika bencana terjadi, baik korban jiwa maupun harta. Sedangkan risiko terhadap bencana adalah kemungkinan terjadi bencana dan kemungkinan kehilangan yang mungkin terjadi pada kehidupan dan atau sarana prasarana fisik yang diakibatkan oleh suatu jenis bencana pada suatu daerah dalam waktu tertentu. Risiko bencana dapat ditunjukkan oleh hasil kombinasi antara tingkat bahaya dengan derajat kehilangan yang mungkin terjadi Langkah lainnya adalah pemantauan gerakan tanah. Ini dilakukan di daerah yang tanah dan batuannya aktif bergerak, mempunyai nilai ekonomi tinggi serta mengancam jiwa manusia.
Langkah mitigasi lainnya adalah meningkatkan kewaspadaan menghadapi gerakan tanah dengan cara meningkatkan koordinasi dengan BPBD, memasyarakatkan informasi bencana berupa hasil kajian, peta pemantauan. Penelitian melalui penyuluhan, pelaporan, media massa, poster untuk acuan dasar analisa risiko dan pengembangan tata ruang wilayah, memberdayakan masyarakat dalam memahami informasi gerakan tanah. Selain itu, juga memasyarakatkan kelembagaan penanggulangan bencana agar masyarakat tahu ke mana harus melapor bila mana terjadi bencana.
Merancang bangunan tahan tehadap bencana gerakan tanah, membuat dan memperbanyak buku panduan tentang gerakan tanah dan memasukan persyaratan teknis untuk perizinan bangunan atau perizinan lokasi pengembangan wilayah. Untuk langkah mitigasi sesudah kejadian, berupa tanggap darurat meliputi pembentukan tim reaksi cepat setelah menerima informasi awal tanah longsor dan memeriksa kondisi bencana serta memberikan rekomendasi teknis penanggulangan kepada pemerintah daerah setempat dan rehabilitasi ekonomi, sosial dan sarana prasarana berdasarkan aspek geologi. Sedangkan tahap rekonstruksi, perlu membangun kembali daerah yang terkena tanah longsor dengan bangunan penahan terhadap tanah longsor dengan memasukan rekomendasi teknis aspek geologi. Seharusnya di negara yang sering terkena bencana tanah longsor, diperlukan upaya mitigasi yang lebih baik untuk menangani bencana yang mungkin akan terjadi. Di Manila, Filipina mengembangkan sensor pendeteksi gerakan tanah yang bertujuan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya longsor di suatu wilayah sehingga dapat mengurangi jumlah korban, khususnya korban jiwa. Pada tahun 2012 sensor ini mulai di uji coba di wilayah yang rawan terkena longsor.
Prototipe sensor yang berbentuk simpul silinder di tanam sedalam 2 meter di bawah kaki gunung, untuk mencatat gerakan tanah dan mengirim datanya ke terminal. Hanya gerakan besar yang dapat dilihat dengan menggunakan sensor ini, meski seringkali gerakan kecil akhirnya menjadi besar. Sensor ini terdiri dari beberapa simpul, satu simpulnya memiliki sensor untuk kemiringan dan gerakan tanah, yang dihubungkan ke sistem grafik komputer sehingga setiap gerakan dapat terlihat. Ini sangat membantu untuk perlindungan masyarakat yang tinggal di dekat pegunungan khususnya wilayah yang tidak memiliki solusi teknik untuk tanah longsor, sehingga mereka dapat siap menyelamatkan diri sebelum tanah longsor terjadi
B. Rumusan Masalah
Kebutuhan lahan untuk sarana permukiman dan beraktivitas lainnya karena hal itu merupakan suatu kebutuhan dasar manusia. Perkembangan ini berbanding lurus dengan nilai lahan yang ada manjadi tinggi. Tingginya nilai lahan dan keterbatasan lahan yang tersedia pada daerah yang layak huni, menyebabkan kawasan yang memiliki kondisi kurang layak huni bahkan tidak layak huni dimanfaatkan masyarakat yang sebagian besar tidak mempunyai kemampuan untuk bersaing dalam lahan di daerah layak huni sebagai kawasan budidaya.
Pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dan tingginya intensitas aktifitas manusia dalam mengubah tata guna lahan akan mempertinggi tingkat resiko pada daerah rawan bencana tanah longsor. Keadaan ini terus saja berlangsung karena rendahnya tingkat kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat dan pemerintah disamping lemahnya law enforcement terhadap pengawasan pembangunan dan perkembangan di kawasan rawan tanah longsor ini. Adanya ketidakstabilan tanah di suatu daerah dapat memberikan pengaruh yang bervariasi tergantung pada sifat, besar dan jangkauan dari kawasan tanah longsor tersebut.
Bencana alam tanah longsor ini sifatnya sulit dideteksi dan dipredikasi kapan akan terjadi dan sampai kapan kejadian akan berlangsung, maka usaha untuk menghindari bencana tersebut mengalami kesulitan untuk dilaksanakan. Suatu permukiman baru tidak selalu terdapat pada lokasi lahan yang ideal sesuai dengan tata guna lahan yang telah ditetapkan, beberapa faktor dapat berpengaruh terhadap lokasi lahan ini, seperti jalur gempa bumi, jalur ketidakstabilan lereng atau terdapatnya zona longsoran, (Leverson, 1980). Bencana merupakan fenomena sosial akibat kolektif atas komponen ancaman yang berupa fenomena alam dan atau buatan di satu pihak, dengan kerentanan komunitas di pihak lain serta resiko yang ditimbulkan. Ancaman menjadi bencana apabila komunitas yang ada mempunyai tingkat kemampuan lebih rendah dibanding dengan tingkat ancaman beresiko yang mungkin terjadi padanya atau bahkan menjadi salah satu sumber ancaman tersebut.
Berdasarkan latar belakang yang ada dan perumusan masalah tersebut diatas, maka pada penelitian ini dimunculkan suatu research question, yaitu Bagaimana kajian pemanfaatan lahan di daearah rawan bencana tanah longsor?"
C. Metode Penelitian
Metode penelitian yang
digunakan untuk mencapai tujuan dari penelitian
ini adalah
metode penelitian kualitatif. Metode penelitian ini akan menghasilkan
data secara
deskriptif, dalam bentuk kata secara tertulis, gambar dan sebagainya
yang berasal
dari naskah, wawancara, catatan lapangan, foto dan dokumen resmi
lainnya
(Moleong, 2000). Metode kualitatif ini akan menghasilkan data deskriptif
yang
dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran kondisi sosial ekonomi, tingkat
pemahaman
masyarakat terhadap lingkungan dan alasan penyebab pemanfaatan
lahan serta
mengetahui kebijakan masyarakat dalam pemanfaatan lahan pada
daerah
rawan bencana di Gununglurah, Cilongok, Banyumas. Metode penelitian yang
digunakan untuk mencapai tujuan dari penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif.
Metode penelitian ini akan menghasilkan data secara deskriptif, dalam bentuk kata secara tertulis, gambar dan sebagainya yang berasal dari naskah, wawancara, catatan lapangan, foto dan dokumen resmi lainnya (Moleong, 2000). Metode kualitatif ini akan menghasilkan data deskriptif yang dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran kondisi sosial ekonomi, tingkat pemahaman masyarakat terhadap lingkungan dan alasan penyebab pemanfaatan lahan serta mengetahui kebijakan masyarakat dalam pemanfaatan lahan pada daerah rawan bencana di Gununglurah, Cilongok, Banyumas.
PEMBAHASAN
A. Pengamatan Tanah Longsor
Metode pengamatan longsor mencatat beberapa parameter penyebab longsor, antara lain: kemiringan lereng, curah hujan, tekstur tanah, regolith tanah, sesar, kepadatan penduduk.
Mitigasi daerah berpotensi longsor dilakukan dengan cara : teknik identifikasi daerah yang berpotensi rawan longsor pada satuan wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) yang terdiri dari faktor alami dan faktor manajemen.
Faktor alami dengan mencatat kondisi biofisik lahan yang berpengaruh terjadinya longsor, antara lain: hujan harian kumulatif, kemiringan lereng, keberadaan sesar, kedalaman regolit. Untuk mengidentifikasi daerah yang berpotensi longsor diperlukan beberapa analisis biofisik dan kimia tanah, yaitu: kemiringan lereng > 45%, tekstur tanah liat yang kembang-kerut (vertic), bobot isi tanah yang tinggi > 1,2 g/cm3, kemasaman rendah < 5,5, lahan kurang subur/tandus.
pemetaan, penyelidikan, pemeriksaan, pemantauan, lalu dilanjutkan dengan sosialisasi kepada masyarakat disekitar wilayah yang berpotensi longsor.
B. Kebijakan Penataan Ruang
Perencanaan wilayah adalah perencanaan penggunaan ruang wilayah dan perencanaan aktivitas pada ruang wilayah tersebut. Dalam perencanaan wilayah mencakup kegiatan penataan ruang, sedangkan perencanaan aktivitas tercakup dalam kegiatan perencanaan pembangunan wilayah (Tarigan, 2004).
Perencanaan wilayah memandang suatu wilayah sebagai satu kesatuan ruang yang terpadu dan menggambarkan bagaimana keadaan suatu wilayah di masa datang secara komprehensif. Perencanaan wilayah menjadi penting karena beberapa argumentasi yaitu; potensi setiap wilayah terbatas dan berbeda, dampak kemajuan teknologi tidak seimbang dengan kemampuan rehabilitasi dan antisipasi dampaknya, perlunya upaya mengatasi masalah lahan yang terbatas untuk setiap aktivitas manusia, sifat wilayah yang lintas dan multi sektor serta lintas daerah memerlukan penanganan yang secara komprehensif.
Pemanfaatan ruang merupakan bagian dari perencanaan penataan ruang, yang diatur berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dalam peraturan tersebut dinyatakan bahwa tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik yang direncanakan maupun yang tidak. Berdasarkan pengertian tersebut, penataan ruang pada hakekatnya adalah proses perencanaan ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.Selain itu, penataan ruang dapat diartikan sebagai upaya mewujudkan tata ruang yang terencana, dengan memperhatikan keadaan lingkungan alam, lingkungan buatan, lingkungan sosial, interaksi antar lingkungan, tahapan pengelolaan dan pembangunan serta pembinaan kemampuan kelembagaan dan sumber daya manusia yang ada berdasarkan kesatuan wilayah nasional dan ditujukan bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
C. Analisis Kebijakan tentang Penataan Ruang dan Pemanfaatan Lahan
pada Daerah Rawan Bencana Tanah Longsor
Penataan ruang di Kabupaten Banyumas diatur melalui Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 18 Tahun 2005 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Banyumas. Secara umum rencana tata ruang yang ada di Kabupaten Banyumas terdiri dari 2 (dua) kawasan, yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Banyumas sebagian besar daerah penelitian dialokasikan sebagai kawasan dengan fungsi lindung mengingat kondisi fisik yang ada di lapangan sebagian besar berupa lereng pegunungan dengan pemanfaatan sebagai hutan yang mempunyai fungsi untuk melindungi kawasan bawahnya dan sebagian lagi diarahkan sebagai Resiko Tinggi Resiko Rendah Budidaya : sawah, kolam ikan, tanaman kelapa, permukiman Penebangan pohon Budidaya : Tanaman tahunan, Pembuatan talud pekarangan Resiko Gerakan Faktor turun temurun Nilai lahan Lingkungan yang alami Alasan / Penyebab Aktivitas Masyarakat Pemanfaatan Lahan pada Daerah Rawan Bencana Tanah Longsor fungsi budidaya khususnya permukiman perdesaan dengan pemanfaatan utama sebagai lahan pertanian dan perkebunan.
Penataan ruang di
ibukota kecamatan diatur dengan Peraturan Daerah
Kabupaten Banyumas Nomor 43 Tahun 1995 tentang Rencana Umum Tata Ruang
Kota/Rencana Detail Tata Ruang Kota (RUTRK/RDTRK) Ibukota Kecamatan Cilongok. Adapun
Desa Gununglurah berada diluar ibukota Kecamatan Cilongok sehingga penataan ruang menggunakan RTRW Kabupaten
Banyumas. Peraturan daerah tersebut merupakan
arahan dalam pengembangan suatu wilayah karena didalamnya terdapat pembagian fungsi pemanfaatan ruang yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan yang ada agar dapat
bermanfaat bagi berbagai kepentingan
secara terpadu, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan. “Secara umum Penataan Ruang yang ada di Kabupaten
Banyumas tertuang dalam Perda Kabupaten
Banyumas Nomor 18 Tahun 2005 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Banyumas terbagi menjadi 2 (dua) kawasan,
yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya.
Sedangkan kawasan budidaya itu sendiri masih terbagi menjadi beberapa jenis budidaya, antara lain: budidaya lahan basah, budidaya
lahan kering, budidaya hutan produksi dan
budidaya hutan terbatas. Sedangkan maksud dari penetapan RTRW Kabupaten
Banyumas adalah untuk memberi arahan
tentang pemanfaatan ruang yang ada di wilayah, sedangkan tujuannya adalah terciptanya keserasian dan
keseimbangan antara lingkungan dan aktivitas
manusia serta terselenggaranya pembangunan yang lebih tegas di Kabupaten
Banyumas.
Adapun targetnya adalah pemanfaatan ruang bagi semua
kepentingan secara terpadu, berdaya guna,
dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan”, Pemanfaatan
rencana tata ruang yang dilakukan oleh masyarakat masih
dijumpai adanya penyimpangan yang cukup signifikan khususnya pemanfaatan
lahan pada kawasan fungsi lindung yang mempunyai potensi rawan terhadap
bencana tanah longsor. Penyimpangan pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh
masyarakat ini tidak dapat dideteksi secara dini karena masyarakat tidak
mengajukan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dalam membangun rumah
tinggal. Sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 6.
Seiring dengan regulasi baru berupa Undang-undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang dan kondisi eksisting berupa penyimpangan
pemanfaatan lahan terhadap rencana tata ruang yang ditelah ditetapkan, maka
Pemerintah Kabupaten Banyumas segera melakukan revisi Perataturan Daerah
Kabupaten Banyumas Nomor 18 Tahun 2005 tentang RTRW Kabupaten
Banyumas yang akan disesuaikan dengan perundang-undangan yang baru.
Pertambangan dan Energi
Kabupaten Banyumas setiap tahun melakukan pemetaan daerah rawan bencana khususnya tanah longsor untuk tiap kecamatan.
Selain itu pemerintah kabupaten melalui satuan kerja
perangkat daerah yang menangani selalu
melaksanakan survey lapangan khususnya setelah ada laporan dari masyarakat
yang berkaitan dengan bencana tanah longsor. “Tahapan yang akan dilakukan adalah dengan menginventaris
daerah yang mempunyai potensi terhadap kejadian
bencana dalam bentuk pemetaan daerah rawan bencana, laporan dari
masyarakat dan survey lapangan”, (KPB.W.02.05).
Kawasan fungsi lindung yang tercantum
dalam RTRW Kabupaten
Banyumas masih dimungkinkan untuk dilaksanakan pembangunan fisik dalam
rangka memenuhi kebutuhan dasar masyarakat setempat, khususnya dalam
rangka untuk mitigasi bencana sepanjang pelaksanaan pembangunan fisik
tersebut tidak mengganggu fungsi lindung itu sendiri. “Tidak semua kebutuhan
masyarakat dapat dipenuhi karena mengingat tingkat kerawanan
daerah tersebut terhadap bencana tanah longsor. Sedangkan pelaksanaan
pembangunan di lokasi dapat dilaksanakan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat,
sepanjang kebutuhan masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan dasar masih dapat diterima sepanjang
tidak mengganggu lingkungan terutama pelaksanaan pembangunan infrastruktur di
daerah rawan bencana dalam rangka untuk mitigasi bencana tanah longsor”, (KPB.W.04.06).
Pelaksanaan mitigasi bencana pada dasarnya
terbagi menjadi 3 (tiga) tahap yaitu pelaksanaan mitigasi sebelum kejadian
bencana berupa upaya
pencegahan terhadap kejadian bencana dan mengurangi resiko bencana alam
salah satunya dengan pemasangan early warning system, pelaksanaan
mitigasi
pada saat kejadian bencana dalam bentuk evakuasi korban dan tanggap darurat
serta pelaksanaan mitigasi pasca kejadian bencana dalam bentuk rekonstruksi
infrastruktur, rehabilitasi mental korban bencana dan relokasi permukiman.
Kriteria dasar yang digunakan untuk melakukan kajian kesesuaian lahan
adalah kawasan yang memiliki kondisi fisik lahan yang sesuai untuk peruntukan
arahan pemanfaatan dan rencana tata ruang.
Adapun fokus kajian ditujukan kepada arahan kebijakan
dalam rencana pemanfaatan ruang yang telah ditetapkandalam RTRW Kabupaten
Banyumas dalam upaya pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara
terpadu, berdaya guna, dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan
berkelanjutan. Seperti berupa kajian kesesuaian antara kebijakan dan rencana pemanfaatan ruang kawasan dengan
kondisi eksisting daerah penelitian.
D. Analisis Pemanfaatan Lahan pada Daerah Rawan Bencana Tanah
Longsor di Gununglurah
Kajian pemanfaatan lahan pada
daerah rawan bencana tanah longsor di
Gununglurah ini didasarkan pada identifikasi dan hasil dari keempat analisis
yang
sudah dilakukan. Berdasarkan kondisi fisik yang ada, daerah penelitian terbagi
menjadi 3 (tiga) daerah yang mempunyai tingkat potensi terhadap gerakan tanah
dan terbagi menjadi 3 (tiga) kawasan yaitu kawasan fungsi lindung, penyangga
dan kawasan budidaya. Pemanfaatan lahan di Gununglurah sebagian besar berupa
hutan rakyat yang dikekola oleh masyarakat dan hutan negara, sebagian lagi
berupa kebun/tegalan, semak belukar, sawah dan permukiman.
Pemahaman masyarakat setempat terhadap kondisi lingkungan akan
dapat mengurangi tingkat kerentanan masyarakat dalam menghadapi bencana.
Dari tingkat pemahaman yang cukup tinggi, sebagian besar masyarakat
mempunyai tingkat kesadaran yang cukup tinggi dan masyarakat merasa ikut
bertanggungjawab untuk menjaga kelestarian. Kegiatan yang dilakukan oleh
masyarakat dalam ikut menjaga lingkungan adalah dengan menanam tanaman
keras pada daerah yang kritis khususnya pada lahan yang mereka miliki. Namun,
tidak sedikit pula masyarakat yang mempunyai kapasitas rendah masih melakukan
aktivitas yang akan dapat mengganggu keseimbangan alam.
”Sebagian besar masyarakat sudah sadar akan lingkungan sehingga ikut menjaga
kelestarian alam dengan menanam tanaman keras, sedangkan sebagian lagi masih
memperlakukan lingkungan dengan tidak semestinya seperti memotong lereng untuk
kegiatan permukiman bahkan masih ada sebagian masyarakat yang mengolah sawah dan
beternak ikan di daerah atas. Sedangkan di luar Gununglurah
banyak industri pengolahan kayu, hal ini akan sangat mempengaruhi
masyarakat sekitar karena sebagian masyarakat tersebut akan ikut mensuplay bahan baku kayu kepada industri tersebut”, (PKL.W.04.08).
Adapun pemanfaatan lahan tersebut diatas sebagian besar disebabkan
karena adanya faktor kekerabatan masyarakat dalam bentuk turun temurun,
keterbatasan kepemilikan lahan dari masing-masing masyarakat karena rendahnya
kapasitas yang dimiliki oleh masyarakat dibanding dengan nilai lahan layak huni
yang ada. Sebagian lagi pemanfaatan lahan oleh masyarakat setempat disebabkan
karena lingkungan yang alami yaitu ketersediaan air baku dan udara yang bersih.
”Pemanfaatan lahan sebagian besar di daerah ini berupa permukiman, sawah dan
kebun/tegalan sedangkan dibagian atas merupakan hutan milik perhutani. Sebagian
besar masyarakat bermukim disini karena lahan yang dibudidayakan merupakan lahan
yang hanya dimiliki dankarena faktor turun temurun serta kekerabatan”,
(TSE.W.08.04).
”Harga lahan yang ada di Gununglurah tergolong rendah sampai sedang dibanding
denganharga lahan yang ada di kota kecamatan. Harga lahan rendah terdapat pada
daerah atas,sedangkan di daerah bawah harganya jauh lebih tinggi dari daerah
atas”, (TSE.W.12.03).
Pemanfaatan
lahan pada daerah yang mempunyai potensi gerakan tanah
akan menimbulkan suatu resiko gerakan tanah. Resiko gerakan tanah didasarkan
pada tingkat potensi gerakan tanah terhadap ancaman kehidupan masyarakat, hasil
budidaya manusia dan aktivitas masyarakat. Aktivitas dan budidaya masyarakat
dalam bentuk permukiman pada daerah yang mempunyai potensi gerakan tanah akan menjadikan resiko
terhadap gerakan tanah menjadi tinggi sehingga bahaya
bencana tanah longsor akan menjadi tinggi. Tingkat bahaya yang tinggi jika
bertemu dengan tingkat kerentanan masyarakat yang tinggi akan terjadi bencana
alam.
Temuan Studi
Berdasarkan proses analisis yang telah dilakukan dalam penelitian
ini
ditemukan penyimpangan pemanfaatan lahan pada kawasan fungsi lindung dan
fenomena karakteristik masyarakat di daerah penelitian yang mempengaruhi
pemanfaatan lahan pada daerah rawan bencana tanah longsor. Temuan studi
dalam penelitian ini antara lain:
1.
Tingkat
potensi gerakan tanah di daerah penelitian dikontrol oleh faktor
kemiringan lahan, tingkat pelapukan dan kepekaan terhadap erosi dari batuan
atau tanah penyusun serta dipicu oleh tingginya intensitas curah hujan;
2.
Kondisi fisik
alam berupa kelerengan, tanah penyusun dan intensitas curah
hujan berpengaruh pada ketersediaan lapangan pekerjaan di bidang pertanian
dan secara tidak langsung berpengaruh pada penentuan jenis mata pencaharian
sebagai petani dan buruh tani;
3.
Sebagian
besar tingkat pendapatan masyarakat yang berprofesi sebagai petani
dan buruh tani relatif masih rendah sehingga sebagian besar masyarakat
termasuk dalam kriteria keluarga pra sejahtera;
4.
Sebagian
besar masyarakat di daerah penelitian memiliki tingkat pendidikan
relatif rendah dan tingkat aksesibilitas dalam pelaksanaan interaksi social dan
berhubungan dengan wilayah lain relatif rendah;
5.
Kepadatan
penduduk di daerah penelitian pada kawasan terbangun sudah
cukup padat yang sebagian besar mempunyai hubungan kekerabatan;
6. Sebagian besar masyarakat di daerah penelitian mempunyai tingkat sosial
kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari dan tingkat pemahaman terhadap
kondisi lingkungan sudah cukup tinggi;
6.
Secara umum
masyarakat di daerah penelitian mempunyai tingkat kapasitas
yang relatif rendah dan kerentanan yang relatif tinggi;
7.
Aktivitas
pemanfaatan lahan oleh masyarakat di daerah penelitian dipengaruhi
oleh karakteristik fisik alam, karakteristik sosial ekonomi masyarakat; faktor
turun temurun, tingginya nilai lahan yang layak huni dan kondisi lingkungan
yang masih alami;
8.
Pemanfaatan
lahan di lokasi penelitian terjadi pada lokasi yang bervariasi,
mulai dari lahan dengan kelerengan rendah sampai lahan dengan kelerengan
tinggi;
9.
Terdapat
penyimpangan pemanfaatan lahan pada kawasan fungsi lindung dan
kawasan fungsi penyangga.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat kita simpulkan bahwa Berdasarkan dari identifikasi lapangan yang ada, hasil analisis yang telah dilakukan dan temuan studi yang didapat pada penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Daerah penelitian mempunyai tingkat potensi terhadap gerakan tanah yangbervariasi. Tingkat potensi gerakan tanah yang dipengaruhi oleh aktivitas
pemanfaatan lahan oleh masyarakat akan menjadikan daerah penelitian
mempunyai resiko terhadap gerakan tanah. Tingkat resiko gerakan tanah
menjadi meningkat seiring dengan menurunnya tingkat kapasitas masyarakat
dan meningkatnya tingkat kerentanan masyarakat;
2.
Kejadian
bencana tanah longsor di daerah penelitian sangat dipengaruhi oleh
tingkat potensi bencana gerakan tanah dan aktivitas masyarakat yang tidak
memperhatikan keseimbangan lingkungan;
3.
Pemanfaatan
lahan oleh masyarakat di daerah penelitian sebagian terjadi
penyimpangan terhadap peraturan pemerintah tentang penataan ruang yang
telah ditetapkan sebagai kawasan fungsi lindung dan kawasan penyangga.
Penyimpangan pemanfaatan lahan di daerah penelitian seperti permukiman,
pengolahan sawah dan budidaya ikan di kolam akan memicu terjadinya
bencana tanah longsor sehingga perlu upaya untuk pengendalian pemanfaatan
lahan di daerah penelitian.
B. Saran
Dari identifikasi, hasil analisis, temuan
studi dan kesimpulan yang telah
dilakukan, maka terdapat beberapa rekomendasi, antara lain:
1.
Perlu upaya
meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pemanfaatan lahan
dengan peningkatan taraf hidup masyarakat dalam bentuk pemberdayaan
masyarakat melalui pelatihan dan pendidikan non formal sehingga
pengetahuan dan pemahaman terhadap kondisi lingkungan akan meningkat
dan mempunyai ketrampilan untuk melindungi lingkungan, selanjutnya
diharapkan dapat mengubah perilaku masyarakat ke arah yang lebih baik;
2.
Perlu upaya
mengurangi kerentanan masyarakat dalam pemanfaatan lahan
pada daerah rawan bencana tanah longsor dengan kegiatan mitigasi bencana
dalam bentuk sosialisasi yang intensif, bantuan bibit tanaman keras dan
pembangunan infrastruktur khususnya sarana penghubung berupa jalan dan
jembatan sebagai upaya penanganan bencana tanah longsor;
3.
Perlu upaya
permukiman kembali (resettlement) masyarakat yang bermukim
pada kawasan fungsi lindung dan pembatasan pemanfaatan lahan dengan
aktivitas yang mendukung fungsi lindung seperti budidaya tanaman keras dan
tanaman tahunan serta pembentukan kelompok tani hutan sehingga lebih
mudah dilakukan pembinaan, pengawasan dan penataan kawasan;
4.
Perlu upaya
evaluasi pelaksanaan atau implementasi kewajiban kepemilikan
Ijin Mendirikan Bangunan sebagai pengendali pemanfaatan lahan khususnya
permukiman pada kawasan penyangga agar tidak membebani tanah antara
lain melalui penguatan kelembagaan dan bimbingan teknis kepada petugas;
REFERENSI
Harjadi, M.Sc, Ir. Benny.2014. Teknik Mitigasi Tanah Longsor. Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS.
Http://www.forda-mof.org/index.php/berita/post/1782 (Diakses Pada tanggal 30 Oktober 2018)
Anwar,
H.Z. 2003. Pengantar Bencana Gerakan
Tanah. Bandung : Pusat
Penelitian Geoteknologi, LIPI. Arikunto,
S. 1996. Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktek. Jakarta : Penerbit
Asdi Mahastya. Asikin,
S., dan H.A. Prastistho. 1992. Peta
Geologi Lembar Banyumas, Jawa,
Skala 1:100.000. Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi,
Departemen Pertambangan dan Energi.
Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana http://www.gitews.org/tsunamikit/en/E6/further_resources/national_level/peraturan_kepala_BNPB/Perka%20BNPB%204-2008_Pedoman%20Penyusunan%20Rencana%20Penanggulangan%20Bencana.pdf
Peraturan
Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 8 Tahun 1992 tentang Ijin
Mendirikan Bangunan (IMB), Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten
Banyumas.
Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 43 Tahun 1995 tentang
(RUTRK/RDTRK) Ibukota Kecamatan
Cilongok, Bappeda Kabupaten
Banyumas.
Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 18 Tahun 2005 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Banyumas 2005-2015, Bappeda
Kabupaten Banyumas.
Peraturan
Desa Gununglurah Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas Nomor
05 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Desa
(RPJMDes) Gununglurah, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas
Yunus,
H.S. 2000. Struktur Tata Ruang Kota.
Yogyakarta : Penerbit Pustaka
Pelajar.