Oleh:
Esa Septian
STIA
“AAN” Notokusumo Yogyakarta
PENDAHULUAN
Dalam kajian
Furnival (Hefner,
2007, p. 16; Nasikun, 2007, p. 33) masyarakat
majemuk (plural society) adalah masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen atau tatanan sosial
yang hidup berdampingan, namun tanpa membaur dalam satu unit politik yang
tunggal. Kebhinekaan Indonesia
menjadi unsur pelaksanaan dari adanya keberagaman SARA (Suku, Agama dan Ras) Masyarakat
indonesia. Dikenal dengan semboyan “bhineka tunggal ika” yang maknanya
berbeda-beda tetap satu jua. Negara Indonesia adalah
salah satu negara multikultur terbesar di dunia, hal ini dapat terlihat dari
kondisi sosiokultural maupun geografis Indonesia yang begitu kompleks, beragam,
dan luas. “Indonesia terdiri atas sejumlah besar kelompok etnis,
budaya, agama, dan lain-lain yang masingmasing plural (jamak) dan sekaligus
juga heterogen “aneka ragam” (Kusumohamidjojo, 2000:45)”.
Sebagai negara yang plural dan heterogen, Indonesia memiliki
potensi kekayaan multi etnis, multikultur, dan multi agama yang kesemuanya merupakan
potensi untuk membangun negara
multikultur yang besar “multikultural nationstate”.
PEMBAHASAN
A. Kemajemukan
Sebagai Aset Negara
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki
karakteristik kemajemukan (multikultural) dalam realitas berbangsa dan bernegara. Kemajemukan dimaksud tampak pada kenyataan adanya berbagai agama, etnis, suku, bahasa serta
adat istiadat
dengan karakter dan ciri khasnya masing-masing yang masih kental, tersebar memenuhi seluruh wilayah Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Kemajemukan
tersebut telah memperkaya dan menjadi identitas bangsa Indonesia hingga sekarang ini dalam kesatuan Bhineka Tunggal Ika.
Dalam
konteks pemahaman masyarakat majemuk, selain kebudayaan kelompok suku bangsa, masyarakat
Indonesia juga terdiri dari berbagai kebudayaan daerah bersifat
kewilayahan yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok suku
bangsa yang ada didaerah tersebut. Oleh
karenanya tidak dipungkiri setiap suku memiliki kebudayaan yang berbeda. Sebagaimana
yang dikemukakan Boas (1938,
hlm.159) bahwa: Culture may
be defined as the totality of the mental and physical reactions and activities
that characterize the behavior of the individuals composing a social group
collectively and individually in relation to their natural environment, to
other groups, to members of the group itself and of each individual to himself.
Boas
mendefinisikan bahwa budaya merupakan keseluruhan dari reaksi mental, fisik dan
aktifitas karakter perilaku dari individu yang mengubah suatu kelompok sosial
secara bersama dan secara individu dalam hubungannya terhadap lingkungan alami,
kelompok yang lain, kelompoknya, dan terhadap dirinya sendiri. Adapun, Geertz
(1973, hlm. 89) Memberikan
pengertian bahwa: Culture is
an historically transmitted pattern of meanings embodied in symbols, a system
of inherited concepts expressed in symbolic forms by means of which men
communicate, perpetuate, and develop their knowledge about and their attitudes
toward life. Dalam hal
ini, kebudayaan menurut
Geertz sesuatu yang
semiotik, yaitu hal-hal berhubungan dengan simbol dan dikenal serta
diberlakukan oleh masyarakat bersangkutan. Sementara, menurut Peursen(1976,
hlm.10) kebudayaan diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan
setiap kelompok orang.
B. Kearifan
Jawa
Sebelum memasuki pembahasan lebih lanjut, dalam
konteks ini tidak perlu diperdebatkan secara serius tentang isi ide
masyarakat Jawa, karena akan memakan waktu lama untuk mempertemukan bebarapa
pendapat. Ciri khas kebudayan Jawa terletak pada kemampuan yang luar biasa
kebudayaannya diterjang oleh budaya lain tetapi tetap bertahan dalam
keasliannya (Franz Magnis Suseno, 1983:1).
Kerangka normatif dalam menentukan
bentuk kongkret interaksi manusia Jawa adalah prinsip keselarasan hidup, baik
mikrokosmos maupun dalam kapasistas sebagai
bagian dari makrokosmos.
Tanda-tanda ketegangan dalam interaksi sosial dalam masyarakat Jawa yang mulai nampak akan segera dihilangkan
dengan prinsip kerukunan untuk mencapai sebuah keselarasan. ( Franz Magnis Suseno,
1988). Masyarakat
Jawa mempunyai pandangan bahwa pusat kebudayaan Jawa adalah keraton, Kasunanan
Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta sebagai keturunan dinasti Mataram.
Masyarakat Jawa yang sudah menyebar ke seluruh pelosok Nusantara baik melalui
pola transmigrasi maupun kesadaran sendiri, masih mempunyai ikatan batin yang
kuat terhadap budayanya,
sehingga interaksi sosial tetap dalam sikap yang nJawani.
C. Model
Pelestarian Bahasa dan Budaya Lokal
Tradisi yang
berbeda dan prestasi-prestasi spiritual dalam bentuk nilai dari masa lalu yang
menjadi elemen pokok dalam jati
diri suatu kelompok atau bangsa’. Strategi kebudayaan kemudian perlu dibangun
serius sebagai suatu upaya dinamis mempertahankan keberadaan budaya
bangsa dan nilainya dengan cara
melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan sebagaimana amanat
konstitusi.
Pelestarian adalah sesuatu aktivitas atau penyelenggaraan kegiatan melindungi, mempertahankan,
menjaga, memelihara, memanfaatkan, membina dan mengembangkan. Pelestarian juga
merupakan sebuah proses atau upaya-upaya aktif dan sadar, yang mempunyai tujuan
untuk memelihara,
menjaga, dan mempertahankan, serta membina dan mengembangkan suatu hal yang berasal dari
sekelompok masyarakat yaitu benda-benda, aktivitas berpola, serta ide-ide
(Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003:146). Menurut
Koentjaraningrat (1984:83), pelestarian kebudayaan merupakan
sebuah sistem yang besar, mempunyai berbagai macam komponen yang berhubungan dengan
subsistem kehidupan di masyarakat.
1. Kearifan
Lokal Budaya Jawa
Masyarakat Jawa
mempunyai bebera pa kearifan lokal yang merupakan pandangan hidup masyarakat
Jawa yang sangat sarat dengan pengalaman religius. Upacara
bersih desa merupakan bagian dari kearifan
lokal masyarakat Jawa. Salah satu peristiwa yang sangat
penting saat mengadakan upacara bersih desa dengan
diadakannya pertunjukan wayang kulit. Pakeliran
wayang purwa dilaksanakan pada peristiwa peristiwa
yang dianggap penting pada masyarakat Jawa,
seperti :
a.
Mitoni
b.
Ngarot
c.
Wetonan
d.
Khitanan
e.
Mantu
f.
Sadranan
Kearifan lokal sangat terkait dengan pandangan hidup
masyarakat Jawa dan filsafat Jawa. Kearifan lokal
merupakan pandangan hidup yang bersumber pada
masyarakat pendukung kebudayaan Jawa atau kebudayaan
tertentu. Di dalam kearifan lokal tersebut termuat
berbagai sikap dan etika moralitas yang bersifat
religius juga mengenai ajaran spiritualitas kehidupan
manusia dengan alam semesta.
2.
Penerapan Kebijakan Desa Budaya
Desa
budaya merupakan suatu bentuk kebijakan pemerintah daerah DIY yang mengembangkan
potensi budaya lokal berbasis pemberdayaan masyarakat lokal dalam upaya
pelestarian budaya lokal. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
implementasi kebijakan desa budaya sebagai model pelestarian budaya lokal di
Provinsi DIY. Pendekatan penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan
metode studi kasus pada satu desa budaya di Banjarharjo, Kali Bawang, Kulon
Progo. Temuan penelitian menjelaskan bahwa pada tahapan implementasi, kebijakan
penetapan desa budaya sebagai model pelestarian budaya lokal perlu
ditindaklanjuti dengan kebijakan tata kelola desa budaya sehingga mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat pelestari budaya lokal ini. alam mendukung pelaksanaan pelestarian budaya,
pemerintah daerah provinsi DIY menerbitkan
peraturan daerah tentang penetapan 32 desa
sebagai Desa Budaya. Desa Budaya mengemban
amanat sebagai desa yang melaksanakan pelestarian kebudayaan. Pada model
pelestarian budaya lokal melalui desa budaya. Desa budaya
memiliki peluang menjadi destinasi wisata dan wahana
pendidikan berbasis budaya lokal sekaligus memiliki tantangan
yang harus dihadapinya, seperti sumber daya
manusia (SDM) sebagai aktor pelaksana pelestarian budaya lokal (Rochayanti
& Triwardani, 2013). Sejumlah
kendala yang
berkaitan dengan pengelolaan
desa budaya diantaranya; pertama,
sumber daya manusia. Meningkatkan
motivasi, pengetahuan, partisipasi, dan regenerasi
warga masyarakat desa budaya untuk mengaktualisasikan dan mengkonservasi
potensi budaya. Kedua,
kelembagaan. Meningkatkan lembaga pengelola desa budaya melalui upaya pengorganisasian
yang baik, meningkatkan manajemen dan pengembangan jaringan untuk mengaktualisasikan
dan mengkonservasi potensi budaya. Dan ketiga,
p rasarana. Meningkatkan prasarana
pendukung desa budaya melalui upaya pendanaan, peningkatan peralatan,
peningkatan pemanfaatan informasi, dan perluasan
akses untuk mengaktualisasikan dan mengkonservasi potensi budaya (Rochayanti
& Triwardani, 2013:11-12).
3.
Festival Budaya Sarana Pelestarian Budaya
Sebagai salah satu upaya pelestarian
warisan seni budaya. festival
sebagai salah satu sarana bertukar wawasan dan pembelajaran satu sama lain.
Terlbih, untuk menarik minat masyarakat terhadap kesenian dan kebudayaan daearah. akan tercipta kesatuan
dalam keberagaman. Festival
tersebut diharapkannya agar masyarakat dapat mengapresiasi dan melestraikan kebudayaan daerah. Dimana
setiap daerah
dipastikan memiliki seni dan budaya masing-masing yang beragam.
PENUTUP
Kebudayaan memiliki sifat yang dinamis sehingga
setiap saat kebudayaan yang dimiliki oleh suatu
masyarakat dapat mengalami perubahan. Kebijakan
desa budaya dari pemerintah daerah menjadi
kebijakan strategis dalam melaksanakan pelestarian budaya lokal. Implikasinya, Desa budaya
menjadi wahana ekspresi dan apresiasi terhadap budaya lokal yang memuat
nilai-nilai kearifan lokal. Penguatan
peran desa budaya penting untuk melibatkan aktor-aktor pelaksana
yang terlibat yakni, pemerintah daerah, pengelola desa budaya dan masyarakat
lokal. Selanjutnya,
model pelestarian
budaya lokal
melalui desa budaya ke depan perlu ditindaklanjuti
secara bertahap
pengembangan manajemen destinasi wisata budaya sebagai
kebijakan lanjutan pemerintah daerah. Pengembangan
desa budaya menjadi destinasi wisata budaya diharapkan tidak hanya mampu mewujudkan
ketahanan budaya tetapi juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal
pelestarian kebudayaan.
DAFTAR PUSTAKA
Dikdik Baehaqi Arif, M.Pd. 2013. Membingkai Keberagaman Indonesia: Perspektif
Pendidikan Kewarganegaraan Program Kurikuler. FKIP UAD.
Dra. GKR. Wandansari, M.Pd. Aktulialisasi
Nilai-Nilai Tradisi Budaya Daerah Sebagai Kearifan Lokal Untuk Memantapkan Jati diri Bangsa. http://ikadbudi.uny.ac.id/sites/ikadbudi.uny.ac.id/files/lampiran/MAKALAH_0.pdf
Gunawan, Imam. Mengembangkan Karakter Bangsa Berdasarkan Kearifan Lokal. PGSD
IKIP PGRI Madiun.
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/1672/Imam%20Gunawan.pdf?sequence=1
Mubah, Safril. 2011. Strategi Meningkatkan Daya Tahan Budaya Lokal dalam
Menghadapi Arus Globalisasi. Volume
24.Departemen Hubungan
Internasional. FISIP Universitas
Airlangga Surabaya. Hal: 302-308
Nanik Herawati. Kearifan Lokal Bagian Budaya Jawa. Magistra No. 79 Th.
XXIV Maret 2012. http://journal.unwidha.id/index.php/magistra/article/viewFile/284/233
Paranita, Suzana.2015. Transformasi Nilai - Nilai Religi Sebagai Kearifan Lokal Masyarakat Panji. Universitas
Pendidikan Indonesia
Reny Triwardani dan Christina Rochayanti. Implementasi
Kebijakan Desa Budaya Dalam Upaya Pelestarian Budaya Lokal. Vol.4, No. 2, 2014.Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Yogyakarta. https://jurnal.unitri.ac.id/index.php/reformasi/article/viewFile/56/53