28 November, 2016

Refleksi Kasus Korupsi yang semakin marak di Indonesia



Refleksi Kasus Korupsi yang semakin marak di Indonesia
Tindak pidana korupsi saat ini sudah meluas di Indonesia, perkembangannya pun terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari junlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan Negara maupun dari segi kualitas dan tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkup nya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat dari pengusaha sampai pejabat.
Tindakan Korupsi oleh pejabat pemerintahan semakin menguatkan fakta yang ada, seorang figure public yang seharusnya menjadi panutan atau pemimpin yang menjadi contoh masyarakatnya, justru ikut terseret untuk melakukan tindakan amoral, dengan berkedok atas nama pemerintah mereka berani menilap uang Negara demi kepentingan pribadinya.
Tidak dapat dielakkan, korupsi telah merajalela, sendi kehidupan bernegara mengalami kekeroposan, sendi perekeonomian sebagai penopang utama kehidupan mengalami kerapuhan, nilai mata uang secara signifikan mengalami kejatuhannya. Sendi sosial juga bernasib sama.,Uang rakyat disalahgunakan oleh para koruptor. Korupsi telh menjadi hal yang lumrah dalam potret kehidupan keseharian mulai tingkat struktur Kepala Daerah hingga ketingkat Lembaga Kepresidenan, bahkan organism tubuh kita inipun mungkin telah di “Jangkit” virus korupsi yang jauh lebih dahsyat dampaknya dari virus-virus penyakit jasmani.
Banyak kalangan menduga, korupsi di Indonesia tetap berjalan dan bahkan meningkat hampir di setiap elemen lembaga di karenakan lemahnya bentuk hukuman yang dikenakan bagi pelaku, dimana hukuman yang di jadikan “Obat” terhadap penyakit tersebut tidak efektif atau tidak berdampak apapun terhadap pelaku dan tidak relevan untuk diterapkanlagi. Lalu benarkah demikian dn bagaimana tanggapan islam (Fiqih) mengenai hal ini ?
·         FIQIH JINAYAH
Dalam islam persoalan tindak kriminal dikenal dengan istilah fiqih jinayah. Terdapat dua hal yang tercakup dalam jinayah yaitu: `uqubah (sanksi) dan ma`ashi atau jarimah (tindak kriminal), Imam Mawardi mendefinisikannya dengan suatu perbuatan tindak criminal yang dilarang oleh syara` dan dibalas (disanksi) dengan had atau ta`zir. Sementara Abdul Qodir al-Audah memberikan definisi pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh syara` (tindak kriminal) baik perbuatan tersebut menyangkut persoalan jiwa harta atau lainnya.
Dilihat dari aspek ada dan tidak adanya ketetapan nash (al-qur’an dan hadist), hokum pidana islam dibagi menjadi dua macam yaitu:
1.      `Uqubah Nashshiyah, pidana yang telah ditegaskan atau ditetapkan dalam al-qur’an dan hadist yaitu, had,qishos dan kafarat
2.      `Uqubah Tafwidiyah, pidana yang tidak ditetapkan dalam nash dan bentuk atau jenis sanksinya diserahkan kepada pemerintah atau penguasa yaitu ta’zir.
Dari sini tindak pidana korupsi termasuk dalam kategori `Uqubah Tafwidiyah yang mana bentuk sanksinya adalah ta’zir. Penentuan sanksi hukuman ta’zir. Baik jenis bentuk dan beratnya dipercayakan kepada HAKIM yang harus tetap mengacu kepada maqosid al-syariah dan kemaslahatan umum. Syara’ hanya memberikan prinsip-prinsip umum yang harus ditegakkan dalam pemberian sanksi.
Bentuk sanksinya bervariatif dan bermacam-macam. Terkadang pelaksanannya didasarkan terhadap unsur penjeraannya, misalnya dibunuh, didera, diasingkan, disalib dan lain-lain. Dan terkadang pula unsure mendidik yang diterapkan misalnya dengan mau’idhoh atau peringatan. Semua bentuk dan jenisnya tergantung hakim atau penguasa dengan didasarkan pada kemaslahatan umum.
·         HUKUM PIDANA (KUHP)
Dalam konteks negar indonesi Negara hokum yang tidak menerapkan hokum islam peraturan-peraturannya dikenal dengan istilah hokum positif (al-Qonin, al-Wadh`iy) ini membayangkan undang undang atau peraturan untuk mengatur pergaulan hidup bermasyarakat yang diputuskan dan ditetapkan oleh pemerinta. Dari sini hokum positif merupakan produk (hasil pemikiran) manusia untuk sekedar memenuhi kebutuhan mereka yang bersifat temporal dan kasuitik. Tujuannya tak lain untuk nuansa kehidupan ini tetap harmoni.
Beda halnya dengan hokum syar’I, dia dating dari syar’I (Allah dan rosul-Nya) dengan perantara Al-Qur’an dan Al-Hadist untuk merealisasikan kemaslahatan umat manusia sepanjang masa. Mengenai kasus tindak criminal di Indonesia dikenal dengan hokum pidana yang termaktub dalam KUHP, dengan menjadikan penjara sebagai hukuman utama bahkan satu-satunya hukuman. Sebagian sarjana menyatakan bahwa ini dilator belakangi oleh pengaruh filsafat yang berkembang di Barat yang sangat mengagungkan kebebasan. Karena hukuman adalah penderitaan, rasa sakit atau nestapa yang ditimpakan kepada seseorang karena dia melakukan kejahatan (menyakiti masyarakat) maka rasa sakit atau nestapa itu harus betul-betul dia rasakan, harus menyerang sesuatu yang sangat berharga atau malah yang paling dasar dari aspek kemanusiaannya, dan menurut filsafat dibarat hal itu adalah kemerdekaan. Karena itu hukuman yang palinh berharga adalah hukuman yang mencabut atau menghilangkan kemerdekaan itu dan itu adalah penjara atau kurungan.
·         KESELARASAN PRINSIP DASAR (MAQOSID AS-SYARI’AH)
Adanya sanksi ini menjadi sebuah keharusan demi menjaga stabilitas kehidupan manusia dlam interaksi social. Hubungan antar personal ataupun pribadi yang berakibat pada tatanan kemasyarakatan. Dengan sanksi yang jelas dan berlaku mengikat terhadap semua komponen masyarakat tanpa terkecuali. Negara Indonesia pun menghendaki adanya tatanan masyarakat yang tertib, tentram, damai dan seimbang. Sehingga setiap konflik sengketa atau pelanggaran hokum harus secara konsisten ditindak, dikenai sanksi. Kalau setiap pelanggaran hokum ditindak secara konsisten maka akan timbul rasa aman dan damai, karena ada jaminan kepastian hokum. Untuk itu diperlukan peradilan, yaitu pelaksanaan hokum dalam hal konkrit adanya tuntutan  hak, fungsi mana dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh Negara serta serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan bertujuan mencegah “eigenrichting” (Sudikno Mertakusumo 1973/0.
·         REFLEKSI
Dari paparan diatas, sesungguhnya aturan-aturan yang terdapat dalam islam ataupun Negara adalah memiliki tujuan yangs sama, yaitu untuk menciptakan kedamaian antar umat Indonesia. Walau tidak diambil dari nash-nash Al-Qur’an maupun Al-Hadist, namun hukuman tindak pidana korupsi di Indonesia sudh selaras dengan prinsip dasar yang ditetapkan dalam fiqih jinayah. Mengenai problem belum teratsinya kasus KORUPSI dan semakin meningkatnya Para penjilat uang Negara tidaklah serta merta menyalahkan hokum yang berlaku dan menuntut adanya amandemen secara menyeluruh. Hal paling utama adalah bagaimana supremasi hokum benar-benar ditegakkan dan dijalankan. Para penegak hokum, baik hakim maupun polisi harus menangani kasus korupsi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jangan sampai “VIRUS” yang menjangkit Negara ini malah menular kepada mereka, dan jangan sampai “KONGKALIKONG” Jual-Beli hokum semakin menyebar dalam tubuh mereka sehingga menodai symbol yang melekat padanya sebagai “PENEGAK SUPREMASI HUKUM” di Indonesia.




KONSEP-KONSEP KORUPSI DALAM HUKUM ISLAM
1.      Ghulul
Ghulul adalah penyalahgunaan jabatan. Jabatan adalah amanah, oleh sebab itu, penyalahgunaan terhadap amanat hukumnya haram dan termasuk perbuatan tercela. Perbuatan ghulul misalnya menerima hadiah, komisi, atau apapun namanya yang tidak halal dan tidak semestinya dia terima. semua komisi atau hadiah yang diterima seorang petugas atau pejabat dalam rangka menjalankan tugasnya bukanlah menjadi haknya. Misalnya seorang staf sebuah kantor pemerintahan dalam pembelian inventaris kantornya dia mendapat discount dari si penjual, maka discount tersebut bukanlah menjadi miliknya, tetapi menjadi milik kantor. Contoh lainnya yang sering terjadi adalah seorang pejabat menerima hadiah dari calon tender supaya calon tender yang memberi hadiah tersebut yang mendapat tender tersebut. Ghulul juga adalah pencurian dana (harta kekayaan) sebelum dibagikan, termasuk di dalamnya adalah dana jaring pengaman sosial. Contohnya adalah kasus pencurian terhadap barang-barang bantuan yang seharusnya diserahkan kepada korban bencana alam berupa gempa dan tsunami di Aceh. Bentuk lain dari penyalahgunaan jabatan (ghulul) adalah perbuatan kolutif misalnya mengangkat orang-orang dari keluarga, teman atau sanak kerabatnya yang tidak memiliki kemampuan untuk menduduki jabatan tertentu, padahal ada orang lain yang lebih mampu dan pantas menduduki jabatan tersebut.
2.      Sariqah
Syekh Muhammad An-Nawawi al-Bantani mendefinisikan sariqah dengan “Orang yang mengambil sesuatu secara sembunyi-sembunyi dari tempat yang dilarang mengambil dari tempat tersebut”. Jadi syarat sariqah harus ada unsur mengambil yang bukan haknya, secara sembunyi-sembunyi, dan juga mengambilnya pada tempat yang semestinya. Kalau ada barang ditaruh di tempat yang tidak semestinya untuk menaruh barang menurut beliau bukan termasuk kategori sariqah. Menurut Syarbini al-Khatib yang disebut pencurian adalah mengambil barang secara sembunyi-sembunyi di tempat penyimpanan dengan maksud untuk memiliki yang dilakukan dengan sadar atau adanya pilihan serta memenuhi syarat-syarat tertentu. Islam mengakui dan membenarkan hak milik pribadi, oleh karena itu, Islam akan melindungi hak milik tersebut dengan undang-undang. Orang yang melakukan pencurian berarti ia tidak sempurna imannya karena seorang yang beriman tidak mungkin akan melakukan pencurian
Lalu bagaimana dengan pencurian uang negara, apakah hal tersebut diperbolehkan. Tentu jawabannya tidak boleh karena uang negara tersebut adalah untuk kesejahteraan umum di mana umat Islam bisa mengambil manfaat darinya. Dalam konteks Indonesia, umat Islam-lah yang paling banyak akan memanfaatkan uang tersebut karena mereka adalah mayoritas. Namun demikian umat non-Muslim juga berhak memanfaatkan uang negara tersebut karena Islam menyuruh supaya memenuhi hak-hak mereka secara sempurna dan tidak dikurangi dan supaya hidup damai berdampingan dengan mereka dan saling menjaga jiwa dan harta mereka.Yang paling ironis apabila pencurian tersebut dilakukan oleh petugas atau pejabat yang memang bertugas untuk mengurus uang atau kekayaan negara tersebut. Oleh karena itu, menurut Islam petugas atau pejabat yang bertugas mengurus uang tersebut apabila melakukan pencurian dosa dan kesalahannya jauh lebih besar dan lebih banyak dan ia termasuk golongan orang yang berkhianat, karena menjaga amanat termasuk kewajiban Islam dan khianat dilarang secara mutlak.
3.       Khianat
Khianat adalah tidak menepati amanah, ia merupakan sifat tercela. Sifat khianat adalah salah satu sifat orang munafiq sebagaimana sabda Rasulullah SAW. bahwa tanda-tanda orang munafiq itu ada tiga, yaitu apabila berkata berdusta, apabila berjanji ingkar, dan apabila diberi amanah berkhianat.
Menurut ar-Raghib al-Isfahani, seorang pakar bahasa Arab, khianat adalah sikap tidak memenuhi suatu janji atau suatu amanah yang dipercayakan kepadanya. Ungkapan khianat juga digunakan bagi seseorang yang melanggar atau mengambil hak-hak orang lain, dapat dalam bentuk pembatalan sepihak perjanjian yang dibuatnya, khususnya dalam masalah mu’amalah. Jarimah khianat terhadap amanah adalah berlaku untuk setiap harta bergerak baik jenis dan harganya sedikit maupun banyak. Orang-orang yang beriman mestinya menjauhi sifat tercela ini, bahkan seandainya mereka dikhianati Rasulullah s.a.w. melarang untuk membalasnya dengan pengkhianatan pula.
4.      Risywah (suap)
Secara harfiyah, suap (risywah) berarti “batu bulat yang jika dibungkamkan ke mulut seseorang, ia tidak akan mampu berbicara apapun”. Jadi suap bisa membungkam seseorang dari kebenaran. Menurut Ibrahim an-Nakha’i suap adalah “Suatu yang diberikan kepada seseorang untuk menghidupkan kebathilan atau untuk menghancurkan kebenaran”. Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz mendefinisikan suap dengan “Memberikan harta kepada seseorang sebagai kompensasi pelaksanaan mashlahat (tugas, kewajiban) yang tugas itu harus dilaksanakan tanpa menunggu imbalan atau uang tip”.
Sedangkan menurut terminologi fiqh, suap adalah “segala sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada seorang hakim atau yang bukan hakim agar ia memutuskan suatu perkara untuk (kepentingan) nya atau agar ia mengikuti kemauannya”. Baik yang menyuap maupun yang disuap dua-duanya dilaknat oleh Rasulullah SAW. sebagai bentuk ketidaksukaan beliau terhadap perbuatan keduanya. Rasulullah SAW. bersabda: Suap dengan segala bentuknya haram hukumnya. Dia antara bentuk suap adalah hadiah. Seorang pejabat haram hukumnya menerima hadiah. Bahkan termasuk hadiah yang diharamkan bagi seorang pejabat yang meski tidak sedang terkait perkara atau urusan, telah membiasakan saling memberi hadiah jauh sebelum menjadi pejabat, namun setelah menduduki jabatan terjadi peningkatan volume hadiah dari kebiasaan sebelumnya. Seorang pejabat juga haram menerima hadiah dari seseorang yang jika bukan karena jabatannya, niscaya orang tersebut tidak akan memberikannya. Umar bin Abdul Aziz suatu ketika diberi hadiah oleh seseorang tapi ditolaknya karena waktu itu dia sedang menjabat sebagai khalifah. Orang yang memberi hadiah kemudian berkata: “Rasulullah pernah menerima hadiah”. Lalu Umar menjawab: hal itu bagi Rasulullah merupakan hadiah tapi bagi kita itu adalah risywah (suap)”. Pokoknya setiap hadiah yang diberikan kepada pejabat karena posisinya sebagai seorang pejabat tidak boleh diterima dan haram hukumnya karena andaikan pejabat tersebut tidak sedang menjabat dan hanya tinggal di rumahnya niscaya tidak akan ada orang yang memberinya hadiah.
Seorang pejabat boleh menerima hadiah dengan beberapa syarat:
  1. Pemberi hadiah bukan orang yang sedang terkait perkara dan urusan.
  2. Sudah terjadi semacam tradisi saling tukar-menukar hadiah antara pejabat tersebut dengan pemberi hadiah sebelum ia menduduki jabatannya, baik karena pertemanan atau saudara.
Sanksi-Sanksinya                 
Sanksi merupakan sesuatu yang sangat urgen kedudukannya dalam rangka penegakan supremasi hukum karena sebuah produk hukum sehebat apapun tanpa adanya sanksi atau hukuman juga tidak memiliki kekuatan memaksa yang sangat kuat. Kadang ditaati atau tidaknya suatu hukum atau peraturan tergantung dari berat ringannya sanksi yang ada lebih khusus lagi tergantung pada ditegakkannya sanksi tersebut atau tidak.
Jenis sanksi ada empat, yaitu: pertama, al-‘Uqubah al-Asliyyah yaitu hukuman yang telah ditentukan dan merupakan hukuman pokok seperti ketentuan qishas dan hudud. Kedua, al-‘Uqubah al-Badaliyyah yaitu hukuman pengganti. Hukuman ini bisa dikenakan sebagai pengganti apabila hukuman primer tidak diterapkan karena ada alasan hukum yang sah seperti diyat atau ta’zir. Ketiga, al-‘Uqubah al-Tab’iyyah yaitu hukuman tambahan yang otomatis ada yang mengikuti hukuman pokok atau primer tanpa memerlukan keputusan tersendiri seperti hilangnya mewarisi karena membunuh. Keempat, al-‘Uqubah al-Takmiliyyah yaitu hukuman tambahan bagi hukuman pokok dengan keputusan hakim tersendiri seperti menambahkan hukuman kurungan atau diyat terhadap al-‘Uqubah al-Ashliyyah.
Sedangkan tujuan adanya sanksi atau hukuman ada tiga, yaitu: pertama, al-himayah (preventif); yaitu supaya seseorang berfikir dan menyadari akibat yang akan dialami bila suatu jarimah dilakukan. Kedua, al-Tarbiyyah; yaitu supaya seseorang memperbaiki diri atau menjauhkan dirinya dari jarimah dengan pertimbangan dijatuhi hukuman yang setara dengan perbuatannya. Ketiga, al-‘Adalah; yaitu terciptanya rasa keadilan. Jadi hukuman harus ditegakkan tanpa pandang bulu sebagaimana hadis Rasulullah mengenai pemberlakuan potong tangan terhadap pencuri termasuk terhadap Fatimah sekalipun putri beliau seandainya ia mencuri. Adapun sanksi dari jenis jarimah yang telah disebutkan di atas (ghulul, sariqah, khianat, dan risywah) akan penulis kemukakan sebagai berikut:
Pertama, sanksi atau hukuman ghulul. Di dalam hadis-hadis Rasulullah disebutkan bahwa sanksi terhadap pelaku ghulul adalah membakar harta ghululnya dan memukul pelakunya. Hadis yang menjelaskan bentuk sanksi tersebut adalah hadis nomor 2598 dalam Kitab Sunan Abu Daud. Lengkapnya sebagai berikut: “Dari Shalih bin Muhammad bin Zaidah dia berkata: Aku pernah memasuki negeri Rumawi bersama Maslamah, lalu didatangkan kepadanya seorang laki-laki yang melakukan ghulul. Maslamah menanyakan hal itu kepada Salim bin Abdillah bin Umar, lalu dia berkata: Aku mendengarkan ayah menuturkan hadis dari Umar bin Khattab r.a., Nabi s.a.w. bersabda: “Apabila kamu mendapatkan orang melakukan ghulul, maka bakarlah barangnya, dan pukullah dia” kata Shalih: maka kami mendapatkan sebuah mushaf di dalam barang itu, lalu Maslamah bertanya tentang itu kepada Salim. Jawab Salim: “Juallah barangnya, dan sedekahkanlah harganya”.
Pada hadis yang lain disebutkan bahwa sanksi ghulul adalah dengan membakar hartanya, mengarak keliling pelakunya dan tidak memberikan bagiannya. Diriwayatkan “dari Shalih bin Muhammad dia berkata: pernah kami berperang bersama Walid bin Hisyam, sedang kami bersama Salim bin Abdillah bin Umar bin Abdil Aziz. Kemudian ada seorang laki-laki melakukan ghulul, maka Walid memerintahkan, agar barangnya dibakar. Setelah dibakar, orang itu diarak berkeliling, dan bagiannya tidak diberikan”. Menurut Abu Dawud hadis ini yang paling sahih di antara hadis yang lainnya.
Sanksi atau hukuman bagi penyalahgunaan wewenang atau jabatan bahkan bisa sampai hukuman mati. Al-Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain yang mengutip pendapat al-Muhib al-Thabary dari kitabnya Al-Tafqih menyatakan bahwa vonis mati boleh dijatuhkan pada seorang pejabat negara yang menyalahgunakan tugas-tugasnya utnuk menindas rakyat, dan hal itu disamakan dengan lima macam kefasikan (membunuh, zina, mencuri, memutus persaudaraan dan keluar dari Islam), karena kerugian (korban) yang diakibatkan dari kejahatan pejabat ini jauh lebih besar. Ibn Taimiyyah menyatakan bahwa siapapun yang kalau kejahatannya hanya bisa dihentikan dengan vonis mati, maka ia harus divonis mati, meski itu masih bagian dari ta’zir. Ibn Taimiyyah menganalogikan kejahatan itu dengan kejahatan al-Soil.

Hukuman potong tangan bisa dilaksanakan apabila harta yang dicuri telah sampai senisab. Adapun nisab potong tangan adalah seperempat dinar ke atas sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari ‘Amrah dari ‘Aisyah ra. bahwa sesungguhnya Nabi SAW. biasa memotong tangan karena pencuriannya senilai seperempat dinar ke atas. Hadis tersebut begitu populer karena dikeluarkan oleh Imam Bukhori, Imam Muslim, Imam Turmudzi, Imam an-Nasa’i, dan Imam Ibnu Majah. Hadis dengan redaksi yang hampir sama juga diriwayatkan oleh Urwah dan ‘Amrah juga dikeluarkan oleh para Imam yang telah disebut di atas.
Ada beberapa kasus pencurian yang tidak dipotong tangannya, yaitu pada pencurian buah-buahan dan umbat, mencuri untuk memakannya karena suatu hajat (di tempat itu) tanpa mengantonginya, kemudian orang gila, dan terakhir pencurian yang dilakukan dalam peperangan. Imam Abu Hanifah mengatakan tidak dipotong tangan pada pencurian harta dalam keluarga yang inti karena mereka diiperbolehkan keluar masuk tanpa izin. Jadi kasus pencurian antara suami istri tidak dipotong tangan. Menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, seorang ayah tidak dikenai hukuman potong tangan karena mencuri harta anaknya, cucunya, dan seterusnya ke bawah. Demikian pula sebaliknya, anak tidak dapat dikenai sanksi potong tangan, karena mencuri harta ayahnya, kakeknya, dan seterusnya ke atas.
Sedangkan menurut Muhammad Syahrur hukuman bagi pencurian tidak harus dipotong tangan. Hukuman tersebut bisa diganti dengan hukuman lain yang lebih rendah tetapi tidak boleh diganti dengan hukuman yang lebih tinggi. Teori Muhammad Syahrur mengenai hal ini terkenal dengan teori limit.
Hukuman pengganti potong tangan dalam kasus pencurian menurut Ahmad Abu al-Rus bisa diganti dengan hukuman kurungan dalam jangka waktu yang tidak lebih dari dua tahun, tetapi barang yang dicuri hanya terbatas pada barang-barang yang ketika dicuri tidak sangat berpengaruh terhadap korban pencurian. Namun apabila pencurian tersebut masih diulang hakim diperbolehkan menghukum lebih dari had yang lebih tinggi yang ditetapkan undang-undang untuk tindak pidana dengan syarat tidak melewati kelipatan had sebelumnya.
Ketiga, sanksi atau hukuman bagi pengkhianatan. Orang yang berkhianat tidak dikenakan potong tangan sesuai dengan hadis Nabi:
Namun demikian pengkhianatan yang sifatnya sariqah (pencurian) hukumannya bisa disamakan dengan sariqah (pencurian). dalam beberapa kasus, khianat dapat dijatuhi hukuman mati. Misalnya pengkhianatan terhadap agama (murtad) dan negara (bughat/pemberontakan), orang yang lari dari medan pertempuran melawan kaum musyrik.
Keempat, sanksi atau hukuman terhadap pelaku tindak kejahatan risywah (suap) bervariasi, sesuai dengan tingkat kejahatannya; mulai dari sanksi material, penjara, pemecatan jabatan, cambuk, pembekuan hak-hak tertentu sampai hukuman mati. Hal ini karena tidak ada nash qath’i yang berkaitan dengan tindak pidana ini. Sanksi Material (al-Ta’zir bi al-Mal) adalah bentuk hukuman material, yaitu dengan cara menyita harta yang dijadikan pelicin atau suap, kemudian dimasukkan ke dalam kas negara. Para ulama’ berbeda pendapat tentang kebolehan sanksi ini, namun terlepas dari pro dan kontra, sanksi ini cukup efektif untuk membuat para pelakunya jera.
Bentuk sanksi material bisa berupa 1). Al-Itlaf, perusakan atau penghancuran sebagaimana pemusnahan minuman keras dan penghancuran sarananya, 2). Al-Taghyir (mengubah), sebagaimana merubah tempat maksiat menjadi tempat yang bermanfaat, 3). Al-Tamlik (penguasaan/pemilikan) sebagaimana tindakan sahabat Umar ra. menyita dan kemudian memasukkan hadiah yang diberikan kepada Abu Hurairah ke dalam Baitul Mal.
Sanksi Penahanan dalam terminologi fiqh yuridis penahanan (al- hubs) berarti menunda dan mencegah seseorang (terdakwa) dari kebebasan bertindak.
Dalam lintasan sejarah Islam yakni pada masa khalifah Umar bin Khattab, beliau pernah membeli rumah dari Shafwan bin Umayyah seharga 4000 dirham kemudian ia jadikan sebagai penjara. Dari sinilah mulai ada rumah tahanan dalam Islam.
Sanksi Pemecatan Jabatan. Yang dimaksud di sini adalah penghentian segala keterikatan kerja yang berkaitan dengan jabatan. Rasulullah pernah memecat jabatan komandan yang dipegang Sa’ad bin ‘Ubadah. Para ulama’ mazhab Hanafi dan Syafi’i menetapkan sanksi ini kepada para pejabat yang melakukan tindak kriminal suap. Selanjutnya adalah Sanksi Mengulangi Kejahatan. Orang yang telah pernah melakukan kejahatan kemudian mengulanginya lagi maka dia bisa dikenakan unsur pemberatan hukuman.

Kesimpulan
Sebagai hasil dari penelitian ini maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
  1. Konsepsi hukum Islam tentang korupsi khususnya di Indonesia paling tidak ada empat, yaitu ghulul (penyalahgunaan wewenang), sariqah (pencurian atau penggelapan), khianat, dan risywah (suap atau sogok).
  2. Apabila korupsi uang Negara dilakukan oleh pejabat yang diberi amanat mengelola, maka termasuk pengkhianatan dan ghulul. Apabila korupsi uang negara dilakukan oleh orang yang tidak diberi amanat mengelola dengan cara mengambil dari tempat simpanan, maka dikategorikan pencurian dan ghulul. Kemudian apabila korupsi uang negara dilakukan oleh orang yang diserahi uang atau barang dan dia tidak mengakui menerima uang atau barang tersebut, maka dikategorikan ghulul dan pengkhianatan. Terakhir apabila warga biasa memiliki prakarsa untuk mengeluarkan dana, hadiah, jasa atau barang lainnya sebagai suap (bribery) kepada pejabat untuk memperlancar atau untuk memenuhi tuntutan/permohonannya, atau apabila prakarsa datangnya dari pejabat atau aparatur negara sebagai bentuk pemerasan (extortion), maka kedua hal tersebut termasuk kategori risywah.
  3. Untuk memberantas korupsi yang sudah merajalela, paling tidak ada empat usaha yang harus segera dilakukan, yaitu: Pertama, Memaksimalkan Hukuman. Kedua, Penegakan Supremasi Hukum. Ketiga, Perubahan dan Perbaikan Sistem. Keempat, Revolusi Kebudayaan (mental).

KAMPANYE PENYELAMATAN IKAN HIU

Foto: Google Oleh : Esa Septian Negara Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki 17.504 pulau yang masing...