09 April, 2024

Valley Of Death dalam Inovasi Kebijakan

 Oleh: Esa Septian

1.      Valley Of Death dalam Inovasi Kebijakan

a.      Fenomena Brokering dan Praktik di Indonesia

Broker Kebijakan merupakan suatu perantara yang menghubungkan individu, tim atau organisasi dengan sumber informasi. Sumber prioritas informasi didapatkan dengan data-data dan penelitian yang mendukung terciptanya bukti dan pengetahuan. Bukti yang dihasilkan memberikan peran penting dalam memengaruhi kebijakan bagi para policy making. Policy making terhubung dengan bukti-bukti yang dapat dijadikan sumber acuan dalam menciptakan inovasi-inovasi kebijakan dan solusi inovatif masalah kebijakan agar kebijakan dihasilkan dapat sesuai dengan realitas dilapangan. Davies (dalam Pellini, 2018:48) menjelaskan tujuan pembuatan kebijakan berdasarkan bukti untuk membantu policy making mengambil keputusan yang lebih baik. Dalam mencapai hasil yang lebih baik menggunakan bukti, penelitian, evaluasi dan analisis baru di mana pengetahuan tentang inisiatif kebijakan yang efektif.

Definisi “bukti” mencakup data statistik dan administrasi, bukti penelitian, bukti dari implementasi dan evaluasi kebijakan, serta pandangan dan pengalaman masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. Pembuatan kebijakan menggunakan pengetahuan dan bukti sebagai pedoman dalam mengambil keputusan. Sumber pengetahuan dapat diperoleh dari lembaga penelitian, universitas, lembaga think thank dan unit analisis dan penyedia analisis data yang menghubungkan proses kebijakan. Dalam proses mentransformasi pengetahuan adanya perantara sebagai penghubung dalam birokrasi pemerintah. Terdapat Perantara pengetahuan yang dilibatkan secara aktif oleh pemerintah. Broker-broker pengetahuan ini yang kemudian menjadi legitimasi bagi pembuat kebijakan bahwa mereka sudah menjalankan prosedur evidence based policy secara normative (Seftyono, 2020).

Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) sebagai wujud brokering kebijakan. Keberadan balitbang menghasilkan bukti dan pengetahuan bagi pembuat kebijakan. Dalam prosesnya, peneliti dan pembuatan kebijakan seringkali memiliki penafsiran yang berbeda terkait waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan bukti yang kuat. Eksistensi balitbang dipertanyakan dalam menghasilkan bukti yang belum sesuai dengan para pembuat kebijakan. Hal ini diperlukannya keterlibatan aktor lain seperti Lembaga think thank Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang memiliki peran strategis berkontribusi untuk menyediakan penelitian, bukti dan analisis kebijakan. Analisis kebijakan berperan dalam memperkuat sumbangsih terhadap bukti melalui data, penelitian atau analisis yang relevan dengan kebijakan. Analis kebijakan dapat memainkan peran perantara pengetahuan utama antara produsen pengetahuan yang belum dioptimalkan. Analisis kebijakan dapat bermanfaat untuk menghasilkan lebih banyak bukti dan membantu pembuat kebijakan.

Lembaga penelitian yang ada di Indonesia memiliki peran strategis dalam menghasilkan inovasi baru di Indonesia. Lembaga penelitian banyak yang memproduksi pengetahuan yang dihasilkan melalui hasil penelitian yang dipublikasikan kepada publik. Namun, hal ini produksi pengetahuan tersebut banyak yang memiliki kontribusi hasil penelitian yang masih kecil atau biasa disebut valley of death. Kondisi ini menjadi kacamata negatif bagi Lembaga think thank dalam menghasilkan penelitian yang unggul. Untuk keluar dari kondisi lembah kematian dimana hasil penelitian inovatif yang dapat berkualitas unggul dan sesuai realitas yang ada melalui publikasi karya ilmiah sehingga diharapkan inovasi dapat berkontribusi lebih besar terhadap proses pembuatan kebijakan inovasi di Indonesia. 

b.      Kelemahan dan Solusi

Pendanaan yang dialokasikan untuk Balitbang rupanya masih menjadi persoalan terkait jumlah anggaran yang terlalu kecil. Mengingat, tugas yang besar untuk menghasilkan penelitian yang berkualitas membutuhkan biaya yang besar. Implikasinya hasil penelitian belum dapat memunculkan bukti yang cukup kuat. Disisi lain, pembuat kebijakan belum ada nya strategi yang jelas dalam menggambarkan kebutuhan akan bukti yang dihasilkan oleh balitbang. Analis kebijakan dibentuk dalam menghasilkan bukti yang nyata. Namun, jumlah analis yang terbatas dan selalu dihadapkan komunikasi yang belum berjalan dengan baik antara analis kebijakan dengan pembuat kebijakan.

              Peningkatan anggaran dan kolaborasi dengan meibatkan berbagai aktor sangat dibutuhkan dalam solusi mengatasi persoalan Brokering Kebijakan. hal ini bertujuan untuk menghsailkan bukti yang realistis sesuai arah pembuat kebijakan. Revitalisasi Lembaga litbang sebagai langkah solusi yang tepat dalam mempertahankan dan meningkatkan eksistensi keberadaanya. Kontribusi dengan menghasikan bukti dapat berdampak langsung bagi pemerintah dalam menghasilkan inovasi kebijakan.

Dalam mengembangkan peran sentral analis kebijakan diperlukan pembekalan melalui pelatihan sehingga dapat menghasilkan staf yang bekualitas. Dedikasi analis kebijakan  sangat berpotensi untuk memodernisasikan birokrasi Indonesia dalam mengembangkan sistem kedalam pengambilan keputusan kebijakan.

 

2.      Ilmu Kebijakan berada dalam “Crossroads” dalam Artikel dari deLeon & Vogenbeck di buku dari Frank Fischer dkk.

a.       Perkembangan ilmu di simpang empat

Ilmu kebijakan mengalami perkembangan yang bercabang. Orientasi ilmu kebijakan mengarah pada peran gerakan post positivis. Evolusi ilmu kebijakan telah berkembang mengarah pada persimpangan (crossroads) pertama menurut Delon berjudul “ The Policy Sciences” at the Crossroads” dalam Fischer (2007:5-11) menjelaskan crossroads pada simpang empat ilmu kebijakan:

1.      Sejarah dalam politik amerika sangat berpengaruh besar terhadap pembuatan kebijakan pada masa perang dunia II berupaya melawan kemiskinan yang terjadi. Kemampuan ilmu-ilmu sosial untuk mengarahkan analisis berorientasi masalah yang mendesak masalah publik. Kegiatan dan hasil politik dengan ilmu kebijakan berada dalam ruang yang sama. Peristiwa sejarah terahir mempengaruhi perkembangan ilmu kebijakan dengan berakhirnya perang dingin.

2.      Epistemologis mulai mucul dalam ilmu kebijakan yang melakukan transisi dari metodolgis empiris ke postivis. Postivis berorientasi oada demokrasi.

3.      Evaluasi pada ilmu kebijakan dilakukan melalui pendekatan jaringan kebijakan sebagai alat mengevaluasi aktor publik dan swasta.

4.      Pergerakan yang terjadi di Negara industry pemerintah yang terdesentralisasi termuat pada literatur New Public Management (NPM).

b.       Kekhasan ilmu kebijakan dari ilmu-ilmu lain yang sudah ada sebelumnya

Kekhasan ilmu kebijakan daripada ilmu lainnya yang sudah ada ilmu kebijakan berasal dari peristiwa-peristiwa bersejarah pada masa lalu. Ilmu kebijakan memiliki kekhasan ilmu Menurut Fischer (2007:4), ilmu kebijakan memiliki tiga karakteristik utama, yaitu:

1.      Ilmu Kebijakan berorientasi pada masalah

2.      Pendekatan akademis dan praktik memuat keilmuan secara multisiplin yang disebut policy science (ilmu kebijakan)

3.      Pendekatan ilmu kebijakan bersifat normative dan berorientasi pada nilai

 

3.      Inovasi kebijakan menjadi kecenderungan baru dalam studi kebijakan publik.

a.       Perkembangan literatur dalam studi inovasi kebijakan

Inovasi mengalami perkembangan yang cukup pesat berkembang dari waktu ke waktu. Dorongan hasil temuan invention merupakan sumber dan bentuk inovasi sebagai sekuen (urut-urutan) linier rangkaian riset dasar, riset terapan, litbang, hingga manufaktur/produksi dan distribusi (sering disebut technology push) berkembang terutama pada periode 1960an hingga 1970an (Taufik, 2007:2).

Inovasi merupakan ide/cara baru yang dilakukan dari proses inovasi terhadap produk yang dihasilkan sesuai dengan tujuannya. Perubahan kebutuhan akan permintaan menjadi pemicu adanya inovasi baru muncul yang diterapkan di Indonesia. Inovasi memanfaatkan sumber daya dan pengetahuan yang dihasilkan dari sebuah hasil penelitian. Serta berkembangnya difusi sebagai langkah inovasi tataran dari skala mikro dapat menyebarluas ke masyarakat luas. Inovasi memasukan sistem, prosedur, produk baru yang dapat berkontribusi dalam memperbaiki penyelenggaraan pelayanan publik.

Tantangan yang dihadapi dalam menciptakan inovasi baru dihadapkan pada persoalan Persoalan rendahnya kemampuan berinovasi (ability to innovate) dan kemauan berinovasi (willingnes to inovate) menjadi salah satu tantangan bagi kalangan pejabat publik di instansi pemerintah baik di daerah maupun pusat (Sururi, 2016:3). Telah terjadinya stagnasi inovasi kebijakan karena inovasi masih dominan oleh para pemimpin. Para bawahan belum dapat berpartisipasi memberikan sumbangsih terhadap proses inovasi sehingga cenderung pasif. Para stakeholder pemerintah daerah, pusat dan kementerian mendorong stimulan adanya inovasi bermunculan dengan mengadakan kegiatan lomba hingga pada  pemberian dana hibah penelitian.

b.       Perkembangan teknologi 4.0 mempengaruhi teori dan praktik inovasi kebijakan

Sejak munculnaya studi inovasi kebijakan publik dipengaruhi oleh perkembangan teknologi revolusi industry 4.0 dimana pemerintah telah meninggalkan sistem yang lama tidak relevan lagi diera yang semakin canggih. Masuknya teknologi membuat proses pelayanan semakin cepat dan tanggap memudahkan cara kerja para pemberi layanan. Revolusi industry 4.0 tertanam kemajuan difusi teknologi yang tumbuh secara eksponensial yang berdampak pada sosial ekonomi. Oleh karena itu, mengatasi transformasi semacam itu memerlukan pendekatan holistik yang mencakup solusi sistem yang inovatif dan berkelanjutan (Morrar dkk., 2017:12). Inovasi kebijakan publik secara konseptual didefinisikan sebagai perubahan cara pandang atau masalah yang ada sehingga memunculkan solusi atau masalah. Ruang lingkup inovasi konseptual adalah kemunculan paradigma, ide, gagasan, pemikiran dan terobosan baru yang sebelumnya tak terbayangkan (Sururi, 2016:4-8).

Wujud dari pengaruh perkembangan teknologi terhadap inovasi adalah dengan diterapkannya e-Government atau elektronik pemerintah. E-Government mengarahkan semua penggunaan kegiatan pelayanan oleh pemerintah dengan melibatkan teknologi informasi seperti Wide Area Network (WAN), Internet, dan mobile computing. Penggunaan teknologi informasi memudahkan pemerintah dalam interaksi hubungan dengan masyarakat, bisnis dan pihak yang terkait dengan pemerintah. Pada akhirnya dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelayanan publik (Dewandaru, 2013: 232). Contoh dari adanya penerapan e-Government, yaitu mulai digunakannya sistem informasi manajemen pada Lembaga pemerintahan seperti pada rumah sakit terdapat Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit dan Inovasi pelayanan melalui pendaftaran online.

Revolusi industry 4.0 membawa transisi pemerintah untuk masuk dalam kota smart city. Akses yang diberikan lebih mudah dan teknologi memungkinkan produk dan layanan baru telah menghasilkn transformasi signifikan terhadap interaksi antara mesin dan manusia (Sima dkk., 2020:2). Smart city sebagai bentuk inovasi kebijakan yang mengintegrasikan teknologi informasi dalam tata Kelola pemerintah. Selain itu, perkembangan inovasi lain masuk dalam program-program yang inovatif yang masuk ke desa seperti inovasi desa melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) memberikan kontribusi memanfaatkan dana desa seperti inovasi desa wisata dan pemasaran produk BUMDes pada marketplace e-commerce.


 

Daftar Pustaka

Dewandaru, Dimas Sigit. 2013. Pemanfaatan Aplikasi E-Office untuk Mendukung Penerapan E-Government dalam Kegiatan Perkantoran. Seminar Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi Puslitbang Jalan dan Jembatan Kementerian Pekerjaan Umum.

Fischer, Frank. Miller, Gerald J & Sidney, M. S. (2007). Handbook of Public Policy Analysis Theory, Politics, and Methods. CRS Press.

Pellini, A., Prasetiamartati, B. Nugroho, K.P. Jackson, E. Carden, F. (2018). Knowledge, Politics and Policy making in Indonesia. Springer: Singapura.

Seftyono, C. (2020). Transformasi Noise menjadi Voice: Politik Keterbukaan Pengetahuan dalam Kekinian Diskursus Evidence Based Policy di Indonesia. https://osf.io/preprints/socarxiv/89wy6/

Sima, V. Gheorghe, I.G. Subi, J & Nancu, D. (2020). Influences of the Industry 4.0 Revolution on the Human Capital Development and Consumer Behavior: A Systematic Review. Sustainability. doi:10.3390/su12104035

Sururi, A. (2016).  Inovasi Kebijakan Publik (Tinjauan Konseptual dan Empiris). Jurnal Sawala https://doi.org/10.30656/sawala.v4i3.241

Taufik, T.A. (2007). Kebijakan Inovasi di Indonesia: Bagaimana Sebaiknya?. Jurnal Dinamika Masyarakat. https://www.researchgate.net/publication/341056970_Kebijakan_Inovasi_di_Indonesia_Bagaimana_Sebaiknya

 

 

09 Februari, 2024

MODEL PENGEMBANGAN FISHING TOURISM VILLAGE BERBASIS KEARIFAN LOKAL KAWASAN PESISIR TIMUR INDONESIA

 Oleh: Esa Septian

A.    PENDAHULUAN

Kawasan pesisir timur memiliki potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang sangat melimpah. Mayoritas masyarakat pesisir timur berprofesi sebagai nelayan yang masih menghadapi sejumlah permasalahan terkait kesenjangan wilayah dan kemiskinan. Kaum nelayan termasuk masyarakat berpenghasilan yang rendah (MBR) seperti halnya di wilayah Kecamatan Ende Selatan Kabupaten Ende karena rendahnya pendapatan yaitu berkisar Rp300.000 sampai dengan Rp1.000.000 dalam satu bulan dengan satu rumah berisi 4-10 jiwa dan kualitas permukiman yang tergolong rendah. Potensi daerah yang dimiliki belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat meskipun telah bermodalkan potensi wisata bahari. Fokus pemerintah dalam pemerataan pembangunan kawasan pesisir timur sangat penting agar pembangunan tidak hanya terfokus di Pulau Jawa.

Salah satu langkah strategis yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan di atas adalah menerapkan model pengembangan kampung wisata nelayan (fishing tourism village) berdasarkan karakteristik lokal kawasan pesisir timur. Pengembangan kampung adat nelayan sebagai penguatan seni budaya dan berkontribusi terhadap peningkatan sektor pariwisata. Menurut Leijzer & Denman (2013) kawasan pesisir tidak hanya berpotensi pada kegiatan penangkapan ikan semata, tetapi juga aktivitas kepariwisataannya dengan segala atraksi alam.

Sektor pariwisata tidak hanya pantai sebagai tulang punggungnya, namun perencanaannya harus melihat secara holistik, terpadu, dan terarah.  Sumber Daya Manusia (SDM) perlu dioptimalkan dalam menggali potensi lokal. Pengembangan kampung wisata nelayan dapat meningkatkan kesadaran partisipasi masyarakat khususnya generasi muda terhadap sadar wisata.

B.    PEMBAHASAN

a.     Model Pengembangan Fishing Tourism Village

 Pengembangan pariwisata kawasan pesisir timur merupakan serangkaian upaya yang sistematis dalam rangka mengembangkan potensi daerah dan peluang pariwisata berkelanjutan di masa depan. Peran aktif para stakeholder dan masyarakat sangat diperlukan dalam membangun pariwisata yang sukses. Implikasinya bahwa pariwisata dapat menghasilkan pendapatan batu bagi para nelayan. Berikut skema model pengembangan Fishing Tourism Village kawasan pesisir timur:

 

Sumber: Penulis, 2024

Berdasarkan gambar di atas, pariwisata berbasis lokalitas akan lebih mudah dipahami bagi masyarakat. Sektor pariwisata berdampak besar dalam meningkatkan perekonomian masyarakat pesisir. Model pengembangan Fishing Tourism Village dapat terwujud melalui:

1)    Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS)

Kelompok sadar wisata merupakan wadah kelembagaan desa dalam mendorong dan memfasilitasi masyarakat lokal berpartisipasi aktif mengembangkan destinasi wisata. Kepengurusan dalam suatu kelembagaan desa dibentuk secara sukarela dan gotong royong. Kegiatan pariwisata yang lesu terkadang menyurutkan minat pengurus Pokdarwis, khususnya generasi muda yang sedang berpikir dalam money oriented. Keunggulan pemuda disisi lain memiliki kreativitas dan inovasi yang tinggi. Pentingnya peran pemerintah dalam menarik minat pemuda dalam berkarir mengembangkan pariwisata demi masa depan.

Pokdarwis berada di bawah lembaga BUMDes yang hadir untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kegiatan BUMDes dapat menjadi saluran dana pengembangan wisata kampung nelayan. Pada tubuh BUMDes ini terdapat lembaga koperasi yang memberikan pelayanan simpan pinjam permodalan, jual beli keperluan wisata dan aktivitas nelayan. Peran strategis Pokdarwis dalam pengembangan kampung wisata nelayan sebagai berikut:

a)     Pemberdayaan Masyarakat

Pembangunan ekonomi pada hakikatnya mencari pemerataan pembangunan antar generasi pada masa kini maupun mendatang. Pokdarwis mempunyai tujuan memberdayakan masyarakat tertinggal dan berpenghasilan rendah, memperluas kesempatan berusaha, meningkatkan kesejahteraan dan membuka lapangan kerja. Kompleksitas dalam pembangunan tidak terlepas dari kemauan para pemangku kebijakan untuk menggerakkan potensi sumber daya pariwisata.

Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) sangat penting dalam meningkatkan Soft Skill dan Hard Skill bagi para pelaku pariwisata. Pemberdayaan masyarakat dapat melalui kegiatan sosialisasi, pelatihan, workshop, studi banding dan kegiatan-kegiatan pendampingan dapat diterapkan. Pemberdayaan masyarakat bertujuan agar pelaku pariwisata dapat membawa perubahan positif dalam membangun pariwisata yang maju berbasis budaya.

b)    Pelestarian Budaya Lokal

Pariwisata pesisir identik dengan keindahan pantainya namun jika dipadukan dengan keunikan budaya lokal (arsitektur rumah adat dan tradisi-tradisi setempat) menjadi modal potensial bagi Pokdarwis dalam pengembangan sektor pariwisata. Ciri khas daerah akan menarik perhatian banyak orang dan akan menjadi salah satu pariwisata berdaya saing secara nasional maupun internasional. Pembangunan rumah adat tidak hanya menjaga kelestarian dari budaya lokal tetapi juga memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat miskin.

Obyek daya tarik wisata yang perlu dilestarikan melalui pariwisata berbasis budaya seperti pertunjukan seni tari tradisional dan alat-alat musik tradisional, mendirikan sanggar tari dan kegiatan festival adat kebudayaan setempat. Upaya lain dalam menarik minat wisatawan selain itu mengembangkan daya tarik wisata buatan seperti pasar tradisional yang menyediakan berbagai kebutuhan masyarakat, pasar ikan bagi wisatawan untuk dijadikan oleh-oleh atau dapat dimasak langsung di warung makan sekitar kawasan pantai, Tempat Pelelangan Ikan (TPI), dan pelabuhan kapal, wisata ziarah sejarah, kuliner lokal, khususnya seafood. Aktivitas pembuatan tenun ikat, zikir rebana khas pesisir, serta lantunan dari musik suling gendang dan gambus.

Potensi budaya lokal kegiatan nelayan yang dapat dikembangkan, seperti proses pelelangan ikan, penjualan ikan di pasar ikan, dan aktivitas nelayan di pelabuhan. Hal ini hanya ditemukan di daerah pesisir saja. Tujuan dari pengembangan atraksi budaya adalah mempertahankan kelestarian budaya khas dan memperkenalkan budaya lokal agar tidak punah terbawa arus modernisasi.

c)     Pemasaran Pariwisata (Marketing Tourism)

Pemasaran pariwisata merupakan elemen sangat penting dalam mengenalkan destinasi wisata daerah. Pemerintah daerah saat ini berlomba-lomba dalam mempromosikan produk pariwisata. Jika pariwisata sukses dikenal sampai wisatawan mancanegara akan mendatangkan nilai positif bagi pertumbuhan ekonomi daerah dan menjaring masuknya investor dalam pengembangan pariwisata. Pokdarwis berperan dalam mengelola pariwisata dan produk-produk daerah melalui digital marketing dengan membuat website pariwisata daerah yang saat ini perlu dikembangkan.

Promosi pariwisata melalui media sosial seperti instagram dan facebook dianggap efektif dalam menarik minat wisatawan untuk berkunjung. Pengembangan pemasaran pariwisata dapat bekerjasama dengan sektor privat, agen pariwisata, dan media pemasaran. Peletakan baliho atau media promosi wisata di beberapa simpul transportasi, seperti bandara, pelabuhan, dan terminal.

b.     Mewujudkan Pariwisata Berkelanjutan (Sustainable Tourism)

Pariwisata berkelanjutan sangat berpengaruh dalam membuat masyarakat menjadi lebih produktif. Kawasan pesisir timur memiliki potensi pariwisata selain pantai, yaitu budaya lokal yang harus dikembangkan agar semakin menarik minat wisatawan untuk berkunjung. Pariwisata berkelanjutan akan memperhatikan dampak terhadap aspek lingkungan, sosial budaya dan ekonomi baik itu positif maupun negatif. Secara tidak langsung dengan adanya pariwisata turut mengembangkan sektor lain atau multiplier effect seperti sektor perdagangan dan jasa (Astjario & Kusnida, 2011; Pramudyanto, 2014). Menurut Cooper, et al (1993: 81) mengemukakan bahwa terdapat 4A komponen yang harus dimiliki oleh sebuah objek wisata dalam memenuhi kebutuhan pelaku pariwisata maupun wisatawan, yaitu:

1)    Attraction (Atraksi)

Atraksi merupakan komponen yang signifikan dalam menarik wisatawan baik itu wisata alami, budaya maupun buatan manusia. Keunikan dan kekhasan suatu daerah menjadi alasan dan motivasi wisatawan untuk mengunjungi suatu obyek wisata. Daya tarik atraksi meliputi penyediaan spot selfie dengan latar belakang panorama alam, penyediaan camping ground di area pantai, paket wisata pantai, pengembangan wisata agro sebagai media edukasi anak-anak bercocok tanam dan penyelenggaraan lomba fotografi objek wisata.

2)    Amenity (Fasilitas)

Amenity atau amenitas adalah segala macam sarana dan prasarana yang diperlukan oleh wisatawan selama berada di daerah tujuan wisata. Menurut Yoeti dalam Astuti dan Noor (2016) berpendapat bahwa sarana prasarana pariwisata adalah semua aspek fasilitas dapat berkembang untuk dapat memenuhi kebutuhan wisatawan yang beranekaragam. Fasilitas pelayanan wisatawan meliputi restoran bernuansa lokal, penyediaan lahan parkir yang luas, warung makan, home stay, toilet bersih, mushola, toko souvenir, sewa perlengkapan wisata, atm center, kantor polisi, rumah sakit, dan tempat sampah di lokasi obyek wisata.

3)    Accessibility (Aksesibilitas)

Accessibility merupakan hal yang paling penting dalam kegiatan pariwisata. Segala macam transportasi ataupun jasa transportasi menjadi akses penting dalam pariwisata. Menurut March dalam Wahdiniwaty (2013) menyatakan aksesibilitas mencakup waktu atau jarak terbang, akses masuk, persyaratan visa, penempelan foto obyek wisata pada transportasi lokal, serta perbaikan dan penambahan penanda jalan menuju destinasi pariwisata.

4)    Ancilliary (Pelayanan Tambahan)

Pelayanan tambahan harus disediakan dalam mengoptimalkan pelayanan yang ada. Pelayanan yang disediakan termasuk pemasaran, pembangunan fisik (jalan raya, rel kereta, air minum, listrik, telepon, dan lain-lain). Ancilliary juga merupakan hal–hal yang mendukung sebuah kepariwisataan, seperti lembaga pengelolaan, tourist information, travel agent, dan stakeholder yang berperan dalam kepariwisataan. Pelayanan tambahan seperti  pelatihan pembuatan kreasi produk lokal berbahan kain tenun, pelatihan pembuatan kuliner oleh-oleh khas, modal usaha bagi kelompok usaha bersama.

Secara garis besar, pengembangan wisata kampung nelayan harus memperhatikan konsep industri kreatif berbasis potensi lokal yang menunjang industri pariwisata. Produk-produk lokal dapat dikembangkan secara kreatif dan inovatif. Wisata kampung nelayan tidak hanya mementingkan pada sisi masyarakat lokal saja tetapi juga harus memberikan pelayanan prima dalam memenuhi kebutuhan wisatawan. Hal ini bertujuan untuk menciptakan pariwisata berkelanjutan.

C.    KESIMPULAN

Permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat kawasan pesisir timur adalah kesenjangan wilayah dan kemiskinan. Upaya pemanfaatan potensi daerah sebagai modal pengembangan pariwisata lokal diharapkan dapat mengatasi permasalahan tersebut.  Pengembangan wisata kampung nelayan sangat tepat bagi karakteristik kawasan pesisir timur dalam meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat lokal. Kampung nelayan dinilai mampu mengangkat pesona lokalitas, tanpa merusak image kampung tersebut. Skema pengembangan wisata kampung nelayan dimulai dengan menggunakan pendekatan holistik terhadap kearifan lokal yang dipadukan dengan kehidupan masyarakat setempat.

Generasi muda identik dengan semangat, kreatif, inovatif yang tinggi diharapkan mampu mengembangkan pariwisata melalui Pokdarwis. Peran Pokdarwis sangat penting dalam memberdayakan masyarakat lokal, budaya setempat dan pemasaran pariwisata. Arus modernisasi yang sangat cepat perlu dimanfaatkan dalam mempromosikan potensi pariwisata daerah agar dikenal oleh masyarakat luas. Semakin meningkatnya kebutuhan pariwisata, maka pemenuhan pelayanan produk pariwisata melalui atraksi, fasilitas, aksesibilitas dan pelayanan tambahan perlu ditingkatkan agar pariwisata lokal tidak kalah bersaing secara nasional maupun internasional.

DAFTAR PUSTAKA

 

Astjario, P & Kusnida, D. 2011.Tinjauan Aspek-Aspek Pembangunan yang Mempengaruhi Dampak Lingkungan Kawasan Pesisir dan Laut. Jurnal Geologi Kelautan. Vol. 9, No. 1. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan.

Astuti, Marhanani T. & Noor, Any A. 2016.Daya Tarik Morotai Sebagai Destinasi Wisata Sejarah Dan Bahari. Jurnal Kepariwisataan Indonesia.11 (1), 25- 45.

Cooper et. al. 1993. Tourism Principles &Practice. England : Longman Group Limited.

Tribawono, Djoko. 2013. Hukum Perikanan Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Dwi Rahmayanti , Yunita dan Sri Pinasti, Indah.  2013. Dampak Keberadaan Objek Wisata Waduk Sermo Terhadap Perubahan Sosial Ekonomi Masyarakatdi Sremo, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Pendidikan Sosiologi. Universitas Negeri Yogyakarta.

Leijzer, M & Denman, R. 2013. Tourism Development In Coastal Areas In Africa: Promoting Sustainability Through Governance and Management Mechanisms. Madrid: World Tourism Organization (UNWTO).

Sholik, Adabi. 2013. Pengaruh Keberadaan Objek Wisata Makan Dan Perpustakaan Bung Karno Terhadap Kondisi Ekonomi Masyarakat Pelaku Usaha Perdagangan di Sekitarnya. Jurnal Lib Geo. Universitas Gadjah Mada.

Wahdiniwaty, Rahma. 2011. Aksesibilitas Wisata Pada Kota Metropolitan di Negara Berkembang (Suatu Survey di Wilayah Bandung Raya). Majalah Ilmiah UNIKOM Vol. 11 No.2 hal. 200 – 209. Bandung.

Wilopo, K. K., & Hakim, L. 2017.Strategi Pengembangan Destinasi Pariwisata Budaya (Studi Kasus Pada Kawasan Situs Trowulan Sebagai Pariwisata Budaya Unggulan Di Kabupaten Mojokerto). Jurnal Administrasi Bisnis (JAB).Vol. 41 No.1.

KAMPANYE PENYELAMATAN IKAN HIU

Foto: Google Oleh : Esa Septian Negara Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki 17.504 pulau yang masing...