BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Terorisme adalah puncak aksi kekerasan, terrorism is the apex of violence. Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan. Terorisme tidak sama dengan intimidasi atau sabotase. Sasaran intimidasi dan sabotase umumnya langsung, sedangkan terorisme tidak. Korban tindakan Terorisme seringkali adalah orang yang tidak bersalah. Terorisme bukan merupakan suatu gejala baru apalagi setelah terjadinya peristiwa Word Trade Center (WTC) di New York Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2011.
Bentuk teror yang disebarkan dalam terorisme dapat berupa intimidasi dan ancaman, pembunuhan, penganiayaan, pengeboman, pembakaran, penculikan, penyanderaan, pembajakan dan lain sebagainya. Dampak dari bentuk-bentuk teror tersebut sangat beragam, antara lain timbulnyakepanikan, perasaan takut/terintimidasi, kekhawatiran, kehilangan harta benda, ketidakpastiaan, bahkan kematian. Berbagai upaya telah di lakukan pemerintah Indonesia untuk penanganan terorisme di Indonesia seperti turunnya Undang-undang Republik Indonesia No 15 Tahun 2003 sebagai penetapan pengganti Undang-undang nomor 1 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme sebagai undang-undang di Indonesia.
Pemerintah RI juga membentuk Tim khusus dalam penanganan kasus ini yaitu di bentuknya Detasemen Khusus 88 atau yang di sebut dengan Densus 88 yang di latih untuk mengatasi segala bentuk terorisme termasuk teror bom. Hingga pada perkembangannya Tim ini sudah menghentikan beberapa aksi terror yang ada di Indonesia ini hingga actor-aktor terorisme yang berbahaya.Namun itu semua bukanlah akhir dari gerakan terorisme di Indonesia bahkan seiring berjalannya waktu sekarang aksi terror mulai berkembang apalagi sekarang kembali munculnya suatu gerakan baru di Indonesia yang di khawatirkan dapat memicu pergerakan terorisme di Indonesia yaitu ISIS yang pergerakannya masih meresahkan masyarakat Indonesia.
B. Rumusan Masalah
a. Apa penyebab terjadinya terorisme?
b. Bagaimana Perkembangan terorisme di indonesia?
c. Bagaimana Antisipasi dan cara penanggulangan terjadinya terorisme?
B. Tujuan
Adapun beberapa tujuan yang ingin kami capai dengan adanya tugas makalah ini adalah ingin memberikan beberapa pemahaman mengenai segala bentuk seluk beluk mengenai teroris yang ada di Indonesia, serta menyadarkan kepada kita semua bahwa yang namanya teroris itu bersifat pembodohan dan merusak. Maka dengan semangat kebersamaan kita semua, mari wujudkan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang aman dan tentram, terbebas dari yang namanya terorisme.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Terorisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah menggunakan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan, dalam usaha mencapai suatu tujuan (terutama tujuan politik). Teroris adalah orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut (biasanya untuk tujuan politik). Terror adalah perbuatan sewenang-wenang, kejem, bengis dan usaha menciptakan ketakutan, kengerian oleh seseorang atau golongan. Terorisme secara kasar merupakan suatu istilah yang digunakan untuk penggunaan kekerasan terhadap penduduk sipil untuk mencapai tujuan politik, dalam skala lebih kecil dari pada perang .
Terorisme mengandung arti ‘menakut-nakuti’. Kata tersebut berasal dari bahasa latinterrere, “menyebabkan ketakutan”, dan digunakan secara umum dalam pengertian politik sebagai serangan terhadap tatanan sipil selama rezim terror pada masa Revolusi Perancis vakhir abad XVII. Dengan bejalannya waktu, penggunaan istilah terorisme rupanya mengalami mengalami perluasan makna, karena masyarakat menganggap terorisme sebagai aksi-aksi perusakan publik, yang dilakukan tanpa suatu alasan militer yang jelas, serta penebaran rasa ketakutan secara luas di dalam tatanan kehidupan masyarakat.
Menurut sebagian besar aktifis yang tergabung dalam kelompok Tanzim al-Qaidah di Aceh, faktor-faktor pendorong terbentuknya radikalisme dan terorisme di Indonesia bukanlah semata-mata untuk kepentingan individu. Sebab, apabila dimotivasi untuk kepentingan individu, maka semestinya hal tersebut apa yang dilakukannya dan tindakannya tidak menyakitkan baik itu diri sendiri maupun orang lain. Adapun faktor-faktor yang mendorong terbentuknya terorisme:
1. Faktor ekonomi
Kita dapat menarik kesimpulan bahwa faktor ekonomi merupakan motif utama bagi para terorisme dalam menjalankan misi mereka. Keadaan yang semakin tidak menentu dan kehidupan sehari-hari yang membikin resah orang untuk melakukan apa saja. Dengan seperti ini pemerintah harus bekerja keras untuk merumuskan rehabilitasi masyarakatnya. Kemiskinan membuat orang gerah untuk berbuat yang tidak selayaknya diperbuat seperti; membunuh, mengancam orang, bunuh diri, dan sebagainya.
2. Faktor sosial
Orang-orang yang mempunyai pikiran keras di mana di situ terdapat suatu kelompok garis keras yang bersatu mendirikan Tanzim al-Qaidah Aceh. Dalam keseharian hidup yang kita jalani terdapat pranata social yang membentuk pribadi kita menjadi sama. Situasi ini sangat menentukan kepribadian seseorang dalam melakukan setiap kegiatan yang dilakukan. Sistem social yang dibentuk oleh kelompok radikal atau garis keras membuat semua orang yang mempunyai tujuan sama dengannya bisa mudah berkomunikasi dan bergabung dalam garis keras atau radikal.
3. Faktor Ideologi
Faktor ini yang menjadikan seseorang yakin dengan apa yang diperbuatnya. Perbuatan yang mereka lakukan berdasarkan dengan apa yang sudah disepakati dari awal dalam perjanjiannya. Dalam setiap kelompok mempunyai misi dan visi masing-masing yang tidak terlepas dengan ideologinya. Dalam hal ini terorisme yang ada di Indonesia dengan keyakinannya yang berdasarkan Jihad yang mereka miliki.
B. Perkembangan Terorisme di Indoenesia
Terorisme sebuah fenomena yang mengganggu. Aksi terorisme seringkali melibatkan beberapa negara. Sponsor internasional yang sesungguhnya adalah negara besar. Harus dipahami bahwa terorisme sekarang telah mendunia dan tidak memandang garis perbatasan internasional. Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1373 yang menetapkan Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden berada dibalik tragedi 11 September 2001 dan dinyatakan sebagai Terorisme yang harus diberantas oleh dunia telah menimbulkan berbagai reaksi dikalangan masyarakat internasional diantaranya muncul tanggapan yang menyatakan bahwa justru Amerika Serikat lah yang mensponsori aksi teror di dunia dengan membentuk konspirasi global yang didukung sekutunya dengan tujuan menghancurkan Islam di Indonesia tanggapan tersebut santer ketika munculnya pernyataan PM Senior Singapura Lee Kuan Yeuw bahwa Indonesia “Sarang Teroris” yang serta merta seluruh masyarakat Indonesia menolak pernyataan tersebut dengan membakar gambar/patung PM Singapura.
Walaupun Polri berhasil menangkap para pelaku serta mengungkap jaringan Terorisme yang berada dibalik peristiwa tersebut, namun hal ini sangat berdampak pada semua aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Atas hasil pengungkapan kasus peledakan bom Bali reaksi masyarakat yang semula cenderung apriori terhadap bom Bali, seolah-olah semua ini adalah hasil rekayasa internasional bersama pemerintah, kini telah bergeser dan mampu melihat fakta secara obyektif melalui proses penanganan dan pengungkapan berbagai macam serta semua jaringan dan para pelaku serta.
Taktik. Yang sering dilakukan oleh para teroris adalah:
1. Bom. Taktik yang sering digunakan adalah pengeboman. Dalam dekade terakhir ini sering terjadi aksi teror yang dilaksanakan dengan menggunakan bom, baik di Indonesia maupun di luar negeri, dan hal ini kedepan masih mungkin terjadi.
2. Pembajakan. Pembajakan sangat populer dilancarkan oleh kelompok teroris. Pembajkan terhadap pesawat terbang komersial pernah terjadi di beberapa negara, termasuk terhadap pesawat Garuda Indonesia di Don Muang Bangkok pada tahun 1981. Tidak menutup kemungkinan pembajakan pesawat terbang komersial masih akaan terjadi saat ini dan massa yang akan datang, baik di Indonesia maupun di luar negeri.
3. Pembunuhan. Pembunuhan adalah bentuk aksi teroris yang tertua dan masih digunakan hingga saat in. Sasaran dari pembunuhan ini seringkali telah diramalkan, teroris akan mengklaim bertanggungjawab atas pembunuhan yang dilaksanakan. Sasaran dari pembunuhan ini biasanya adalah pejabat pemerintah, penguasa, politisi dan aparat keamanan. Dlam sepuluh tahun terakhir tercatat 246 kasus pembunuhan oleh teroris seluruh dunia.
4. Penculikan. Tidak semua penghadangan ditujukan untuk membunuh. Dalam kasus kelompok gerilya Abu Sayaf di Filipina, penghadangan lebih ditujukan untuk menculik personel, sepperti yang dilakukan oleh kelompok GAM terhadap kameraman RCTI Ersa Siregar dan Fery Santoro di Aceh. Penculikan biasanya akan diikuti dengan tuntutan imbalan berupa uang atau tuntutan politik lainnya.
5. Penyanderaan. Perbedaan antara penculikan dan penyanderaan dalam dunia terorisme sangat tipis. Kedua bentuk operasi ini seringkali meimiliki pengegertian yang sama. Penculik biasanya meennan korbannya di tempat tersembunyi dan tuntutannya adalah berupa materi dan uang, sedangkan penyanderaan biasanya menahan sandera di tempat umum ataupun di dalam hutan seperti yang dilakukan oleh kelompok Kelly Kwalik di Papua yang menyandera tim peneliti Lorenz pada tahun 1996. Tuntutan penyannderaan lebih dari sekedar materi. Biasanya tuntutan politik lebih sering dilemparkan pada kasus penyanderaan ini.
C. Antisipasi dan Penanggulangan Teroris di Indonesia
Hal yang harus diantisipasi oleh pemerintah maupun aparat ialah bahwa teroris memiliki keleluasaan dalam memperbesar pengaruh basis yang mendukung aksi pergerakan mereka bila kewaspadaan pemerintahan dan aparat melemah. Kemudahan dan keleluasaan tersebut dapat berbentuk kemudahan dalam memperoleh persenjataan, kemudahan mendapatkan persembunyian yang aman, kemudahan untuk berinteraksi dengan pendukung serta kemudahan memperoleh fasilitas penyerang (Adjie, 2005: 47).
Dengan demikian dalam penanggulangan terorisme di Indonesia ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama penanggulangan terorisme tidak cukup hanya dengan melakukan penangkapan namun juga harus ada upaya preventif agar ideologi tidak terus berkembang. Kedua penanganan terorisme harus menyentuh akar persoalan yang substansial yaitu memutus ideologi dengan paham jihad yang keliru (Agus, 2014: 235). Pada tahun-tahun sebelumnya, umumnya rekam jejak pelaku terorisme di Indonesia bukan berasal dari lingkungan dan tradisi keluarga radikal ideologis agamis. Mereka cenderung menjadi radikal karena dipengaruhi faktor pendidikan dan pengalaman hidup di luar lingkungan keluarga (Suryani, 2017: 277).
Saat ini, radikalisme justru berawal dari lingkungan keluarga inti. Radikalisme menjadi semakin sulit dicegah bila pelaku indoktrinasi adalah orangtua sendiri. Oleh sebab itu, sangat berbahaya apabila ideologi radikalisme masuk ke dalam keluarga. Dibutuhkan solusi komprehensif dengan pendekatan sosio-kultural keagamaan dari seluruh elemen masyarakat dalam memutus rantai terorisme di Indonesia. Upaya dalam rangka mengatasi teror, perlu diperluas dengan pelaksanaan kerja sama dengan berbagai pihak. Antara Polri, TNI, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemen Kominfo) bahkan Direktorat Jenderal (Dirjen) Imigrasi, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) hingga Pemerintah Daerah perlu untuk melakukan manajemen terpadu dalam pengananan aksi terorisme.
Demikian pula masyarakat sipil, dan seluruh elemen masyarakat harus terlibat dalam upaya penyelesaian masalah radikalisme dan terorisme. Elemen pemerintah yang harus aktif salah satunya ialah pihak Dirjen Imigrasi. Pihak Imigrasi beserta Kemenlu perlu untuk terus aktif dalam mendata personel kelompok-kelompok ini guna mengawasi dan memantau kemungkinan kembalinya foreign terrorist fighters(FTF) asal Indonesia yang bergabung dengan ISIS. Dengan rekaman data ini, WNI yang diindikasikan terlibat terorisme di luar negeri tidak sertamerta dapat langsung kembali ke Indonesia. Proses pemulangan mereka memerlukan penanganan khusus dan pemeriksaan lebih lanjut dari Polri dan BNPT sebelum mereka kembali ke masyarakat (cnnindonesia.com, 2017).
Merebaknya terorisme yang berakar dari radikalisme juga mengindikasikan bahwa nilai-nilai pancasila mulai luntur. Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah. Munculnya radikalisme tidak terlepas dari adanya polarisasi keberagamaan yang menimbulkan sentimen dan tafsir sempit atas suatu doktrin atau ideologi. Radikalisme terjadi akibat banyak kelompok masyarakat yang gagal mengintegrasikan nilainilai nasionalisme. Sebagai sebuah paham, radikalisme akan mudah mempengaruhi karakter generasi muda. Oleh sebab itu, sinergitas dari seluruh sistem pemerintahan perlu ditindaklanjuti dengan aksi nasional yang melibatkan tokoh masyarakat, agama, pendidik, akademisi, adat, pemuda, serta elemencivil society (Suryani, 2017: 288).
Demikian pula dengan keberadaan anggota masyarakat yang membagikan pengalamannya setelah berhasil menolak bujukan untuk bergabung kelompok radikal juga harus terus ditingkatkan. Diharapkan hal ini menjadi kebangkitan civil societyuntuk melawan terorisme secara nyata dan efektif mengatisipasi berkembangnya ideologi terorisme di masyarakat. Hal penting lainnya ialah urgensi disahkannya RUU Antiterorisme menjadi Undang-Undang. Hal ini sangat penting agar antisipasi dan penanggulangan terorisme memiliki dasar hukum yang kuat bagi aparat negara untuk mengantisipasi serangan teror. Berbeda dengan saat ini, di mana aparat hanya dapat memantau namun tidak dapat menindak sebelum aksi teror terjadi. Aparat hanya reaktif namun tidak dapat aktif untuk mencegah dan menanggulangi aksi teror. Pengesahan Undang-Undang Antiterorisme diharapkan akan melindungi hak asasi rakyat yang lebih besar dan menjaga keselamatan negara dari aksi terorisme.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Terorisme adalah suatu tindak kekerasan atau ancaman pada suatu individu,kelompok bahkan lingkup Negara atau dunia yang dapat menimbulkan kerusakan baik mental atau lingkungan. Pada dasarnya para teroris punya keyakinan bahwa apa yang mereka lakukan itu benar. Mereka mengatas-namakan agama sebagai kedok kejahatan mereka. Padahal jika kita cermati, hal demikianlah yang bisa mengadu domba satu agama dengan agama yang lain, yang tentunya juga akan merusak citra ISLAM yang indah dan damai. Jaringan terorisme kini semakin luas,dan mereka mengincar masyarakat yang memiliki pondasi pemikiran yang lemah dan mudah di goyahkan untuk di manfaatkan atau dengan istilah yang kita sebut dengan cuci otak.
Penyebab indonesia menjadi tempat maraknya terorisme dipicu oleh beberapa faktor antara lain: Pertama, Faktor ekonomi Keadaan yang semakin tidak menentu dan kehidupan sehari-hari yang membikin resah orang untuk melakukan apa saja. Kedua, Faktor Sosial Sistem social yang dibentuk oleh kelompok radikal atau garis keras membuat semua orang yang mempunyai tujuan sama dengannya bisa mudah berkomunikasi dan bergabung dalam garis keras atau radikal. Ketiga, Faktor Ideologi menjadikan seseorang yakin dengan apa yang diperbuatnya. Keempat, Faktor karisma tokoh yang menyebarkan doktrin tersebut yang berpengaruh. Contohnya Dr. Azhari atau Noordin Moh. Top, para pengikutnya di Indonesia sangat terpesona oleh kebesaran dua tokoh tersebut. Terutama, bagaimana mereka dengan rela meninggalkan segala macam kenikmatan dunia yang mereka miliki untuk berjihad.
B. Saran
1. Perlu adanya kerjasama antara aparat penegak hukum dan masyarakat agar lebih mudah dalam mendeteksi keberadaan teroris dalam lingkungan masyarakat.
2. Di butuhkan pemahaman pada masyarakat umum,agar masyarakat dapat memahami makna jihad dalam agama dan tidak mudah terpengaruh mengarah kearah terorisme yang mengatas nmakan agama.
3. Waspada terhadap setiap orang asing yang tidak jelas identitasnya.
DAFTAR PUSTAKA
Adji, Indriyanto Seno.2001.Bali, “Terorisme dan HAM” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia.Jakarta: O.C. Kaligis & Associates.
Adji, Indriyanto Seno.2001.Terorisme, “Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia.Jakarta: O.C. Kaligis & Associates.
http://id.wikipedia.org/wiki/Definisi_terorisme
Kusumah, Mulyana W.2002.Terorisme dalam Perspektif Politik dan Hukum, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III.Jakarta:Terbit Terang.
Sanur, Debura. 2018. Terorisme: Pola aksi dan antisipasinya. Jakarta Pusat: Pusat Penelitian Badan keahlian DPR-RI.