Refleksi Kasus Korupsi yang semakin marak di Indonesia
Tindak pidana korupsi saat ini sudah meluas
di Indonesia, perkembangannya pun terus meningkat dari tahun ke tahun, baik
dari junlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan Negara maupun dari
segi kualitas dan tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkup
nya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat dari pengusaha sampai pejabat.
Tindakan Korupsi oleh pejabat pemerintahan semakin
menguatkan fakta yang ada, seorang figure public yang seharusnya menjadi
panutan atau pemimpin yang menjadi contoh masyarakatnya, justru ikut terseret
untuk melakukan tindakan amoral, dengan berkedok atas nama pemerintah mereka
berani menilap uang Negara demi kepentingan pribadinya.
Tidak dapat dielakkan, korupsi telah merajalela, sendi
kehidupan bernegara mengalami kekeroposan, sendi perekeonomian sebagai penopang
utama kehidupan mengalami kerapuhan, nilai mata uang secara signifikan
mengalami kejatuhannya. Sendi sosial juga bernasib sama.,Uang rakyat
disalahgunakan oleh para koruptor. Korupsi telh menjadi hal yang lumrah dalam
potret kehidupan keseharian mulai tingkat struktur Kepala Daerah hingga
ketingkat Lembaga Kepresidenan, bahkan organism tubuh kita inipun mungkin telah
di “Jangkit” virus korupsi yang jauh lebih dahsyat dampaknya dari virus-virus
penyakit jasmani.
Banyak kalangan menduga, korupsi di Indonesia tetap berjalan
dan bahkan meningkat hampir di setiap elemen lembaga di karenakan lemahnya
bentuk hukuman yang dikenakan bagi pelaku, dimana hukuman yang di jadikan
“Obat” terhadap penyakit tersebut tidak efektif atau tidak berdampak apapun
terhadap pelaku dan tidak relevan untuk diterapkanlagi. Lalu benarkah demikian
dn bagaimana tanggapan islam (Fiqih) mengenai hal ini ?
·
FIQIH JINAYAH
Dalam islam persoalan tindak
kriminal dikenal dengan istilah fiqih jinayah. Terdapat dua hal yang tercakup
dalam jinayah yaitu: `uqubah (sanksi)
dan ma`ashi atau jarimah (tindak
kriminal), Imam Mawardi mendefinisikannya dengan suatu perbuatan tindak
criminal yang dilarang oleh syara` dan dibalas (disanksi) dengan had atau
ta`zir. Sementara Abdul Qodir al-Audah memberikan definisi pidana adalah suatu
perbuatan yang dilarang oleh syara` (tindak kriminal) baik perbuatan tersebut
menyangkut persoalan jiwa harta atau lainnya.
Dilihat dari aspek ada dan tidak
adanya ketetapan nash (al-qur’an dan hadist), hokum pidana islam dibagi menjadi
dua macam yaitu:
1.
`Uqubah
Nashshiyah, pidana yang telah ditegaskan atau ditetapkan dalam
al-qur’an dan hadist yaitu, had,qishos dan kafarat
2.
`Uqubah Tafwidiyah, pidana yang tidak
ditetapkan dalam nash dan bentuk atau jenis sanksinya diserahkan kepada
pemerintah atau penguasa yaitu ta’zir.
Dari sini tindak pidana korupsi termasuk dalam
kategori `Uqubah Tafwidiyah yang mana bentuk sanksinya adalah ta’zir.
Penentuan sanksi hukuman ta’zir. Baik jenis bentuk dan beratnya dipercayakan
kepada HAKIM yang harus tetap mengacu kepada maqosid al-syariah dan kemaslahatan umum. Syara’ hanya
memberikan prinsip-prinsip umum yang harus ditegakkan dalam pemberian sanksi.
Bentuk sanksinya bervariatif dan bermacam-macam.
Terkadang pelaksanannya didasarkan terhadap unsur penjeraannya, misalnya
dibunuh, didera, diasingkan, disalib dan lain-lain. Dan terkadang pula unsure
mendidik yang diterapkan misalnya dengan mau’idhoh atau peringatan. Semua
bentuk dan jenisnya tergantung hakim atau penguasa dengan didasarkan pada
kemaslahatan umum.
·
HUKUM
PIDANA (KUHP)
Dalam
konteks negar indonesi Negara hokum yang tidak menerapkan hokum islam
peraturan-peraturannya dikenal dengan istilah hokum positif (al-Qonin,
al-Wadh`iy) ini membayangkan undang undang atau peraturan untuk mengatur
pergaulan hidup bermasyarakat yang diputuskan dan ditetapkan oleh pemerinta.
Dari sini hokum positif merupakan produk (hasil pemikiran) manusia untuk
sekedar memenuhi kebutuhan mereka yang bersifat temporal dan kasuitik.
Tujuannya tak lain untuk nuansa kehidupan ini tetap harmoni.
Beda
halnya dengan hokum syar’I, dia dating dari syar’I (Allah dan rosul-Nya) dengan
perantara Al-Qur’an dan Al-Hadist untuk merealisasikan kemaslahatan umat
manusia sepanjang masa. Mengenai kasus tindak criminal di Indonesia dikenal
dengan hokum pidana yang termaktub dalam KUHP, dengan menjadikan penjara
sebagai hukuman utama bahkan satu-satunya hukuman. Sebagian sarjana menyatakan
bahwa ini dilator belakangi oleh pengaruh filsafat yang berkembang di Barat
yang sangat mengagungkan kebebasan. Karena hukuman adalah penderitaan, rasa
sakit atau nestapa yang ditimpakan kepada seseorang karena dia melakukan
kejahatan (menyakiti masyarakat) maka rasa sakit atau nestapa itu harus
betul-betul dia rasakan, harus menyerang sesuatu yang sangat berharga atau
malah yang paling dasar dari aspek kemanusiaannya, dan menurut filsafat dibarat
hal itu adalah kemerdekaan. Karena itu hukuman yang palinh berharga adalah
hukuman yang mencabut atau menghilangkan kemerdekaan itu dan itu adalah penjara
atau kurungan.
·
KESELARASAN
PRINSIP DASAR (MAQOSID AS-SYARI’AH)
Adanya
sanksi ini menjadi sebuah keharusan demi menjaga stabilitas kehidupan manusia
dlam interaksi social. Hubungan antar personal ataupun pribadi yang berakibat
pada tatanan kemasyarakatan. Dengan sanksi yang jelas dan berlaku mengikat
terhadap semua komponen masyarakat tanpa terkecuali. Negara Indonesia pun
menghendaki adanya tatanan masyarakat yang tertib, tentram, damai dan seimbang.
Sehingga setiap konflik sengketa atau pelanggaran hokum harus secara konsisten
ditindak, dikenai sanksi. Kalau setiap pelanggaran hokum ditindak secara
konsisten maka akan timbul rasa aman dan damai, karena ada jaminan kepastian
hokum. Untuk itu diperlukan peradilan, yaitu pelaksanaan hokum dalam hal
konkrit adanya tuntutan hak, fungsi mana
dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh Negara serta
serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang
bersifat mengikat dan bertujuan mencegah “eigenrichting” (Sudikno Mertakusumo
1973/0.
·
REFLEKSI
Dari paparan diatas, sesungguhnya
aturan-aturan yang terdapat dalam islam ataupun Negara adalah memiliki tujuan
yangs sama, yaitu untuk menciptakan kedamaian antar umat Indonesia. Walau tidak
diambil dari nash-nash Al-Qur’an maupun Al-Hadist, namun hukuman tindak pidana
korupsi di Indonesia sudh selaras dengan prinsip dasar yang ditetapkan dalam
fiqih jinayah. Mengenai problem belum teratsinya kasus KORUPSI dan semakin
meningkatnya Para penjilat uang Negara tidaklah serta merta menyalahkan hokum
yang berlaku dan menuntut adanya amandemen secara menyeluruh. Hal paling utama
adalah bagaimana supremasi hokum benar-benar ditegakkan dan dijalankan. Para
penegak hokum, baik hakim maupun polisi harus menangani kasus korupsi sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Jangan sampai “VIRUS” yang menjangkit Negara ini
malah menular kepada mereka, dan jangan sampai “KONGKALIKONG” Jual-Beli hokum
semakin menyebar dalam tubuh mereka sehingga menodai symbol yang melekat
padanya sebagai “PENEGAK SUPREMASI HUKUM” di Indonesia.
KONSEP-KONSEP KORUPSI DALAM HUKUM
ISLAM
1. Ghulul
Ghulul adalah
penyalahgunaan jabatan. Jabatan adalah amanah, oleh sebab itu, penyalahgunaan
terhadap amanat hukumnya haram dan termasuk perbuatan tercela. Perbuatan ghulul
misalnya menerima hadiah, komisi, atau apapun namanya yang tidak halal dan
tidak semestinya dia terima. semua komisi atau hadiah yang diterima seorang
petugas atau pejabat dalam rangka menjalankan tugasnya bukanlah menjadi haknya.
Misalnya seorang staf sebuah kantor pemerintahan dalam pembelian inventaris
kantornya dia mendapat discount dari si penjual, maka discount tersebut
bukanlah menjadi miliknya, tetapi menjadi milik kantor. Contoh lainnya yang
sering terjadi adalah seorang pejabat menerima hadiah dari calon tender supaya
calon tender yang memberi hadiah tersebut yang mendapat tender tersebut. Ghulul
juga adalah pencurian dana (harta kekayaan) sebelum dibagikan, termasuk di
dalamnya adalah dana jaring pengaman sosial. Contohnya adalah kasus pencurian
terhadap barang-barang bantuan yang seharusnya diserahkan kepada korban bencana
alam berupa gempa dan tsunami di Aceh. Bentuk lain dari penyalahgunaan jabatan
(ghulul) adalah perbuatan kolutif misalnya mengangkat orang-orang dari
keluarga, teman atau sanak kerabatnya yang tidak memiliki kemampuan untuk
menduduki jabatan tertentu, padahal ada orang lain yang lebih mampu dan pantas
menduduki jabatan tersebut.
2. Sariqah
Syekh
Muhammad An-Nawawi al-Bantani mendefinisikan sariqah dengan “Orang yang
mengambil sesuatu secara sembunyi-sembunyi dari tempat yang dilarang mengambil
dari tempat tersebut”. Jadi syarat sariqah harus ada unsur mengambil
yang bukan haknya, secara sembunyi-sembunyi, dan juga mengambilnya pada tempat
yang semestinya. Kalau ada barang ditaruh di tempat yang tidak semestinya untuk
menaruh barang menurut beliau bukan termasuk kategori sariqah. Menurut
Syarbini al-Khatib yang disebut pencurian adalah mengambil barang secara
sembunyi-sembunyi di tempat penyimpanan dengan maksud untuk memiliki yang
dilakukan dengan sadar atau adanya pilihan serta memenuhi syarat-syarat
tertentu. Islam mengakui dan membenarkan hak milik pribadi, oleh karena itu,
Islam akan melindungi hak milik tersebut dengan undang-undang. Orang yang
melakukan pencurian berarti ia tidak sempurna imannya karena seorang yang
beriman tidak mungkin akan melakukan pencurian
Lalu
bagaimana dengan pencurian uang negara, apakah hal tersebut diperbolehkan.
Tentu jawabannya tidak boleh karena uang negara tersebut adalah untuk
kesejahteraan umum di mana umat Islam bisa mengambil manfaat darinya. Dalam
konteks Indonesia, umat Islam-lah yang paling banyak akan memanfaatkan uang
tersebut karena mereka adalah mayoritas. Namun demikian umat non-Muslim juga
berhak memanfaatkan uang negara tersebut karena Islam menyuruh supaya memenuhi
hak-hak mereka secara sempurna dan tidak dikurangi dan supaya hidup damai
berdampingan dengan mereka dan saling menjaga jiwa dan harta mereka.Yang paling
ironis apabila pencurian tersebut dilakukan oleh petugas atau pejabat yang
memang bertugas untuk mengurus uang atau kekayaan negara tersebut. Oleh karena
itu, menurut Islam petugas atau pejabat yang bertugas mengurus uang tersebut
apabila melakukan pencurian dosa dan kesalahannya jauh lebih besar dan lebih
banyak dan ia termasuk golongan orang yang berkhianat, karena menjaga amanat
termasuk kewajiban Islam dan khianat dilarang secara mutlak.
3. Khianat
Khianat adalah
tidak menepati amanah, ia merupakan sifat tercela. Sifat khianat adalah
salah satu sifat orang munafiq sebagaimana sabda Rasulullah SAW. bahwa tanda-tanda
orang munafiq itu ada tiga, yaitu apabila berkata berdusta, apabila berjanji
ingkar, dan apabila diberi amanah berkhianat.
Menurut
ar-Raghib al-Isfahani, seorang pakar bahasa Arab, khianat adalah sikap tidak
memenuhi suatu janji atau suatu amanah yang dipercayakan kepadanya. Ungkapan
khianat juga digunakan bagi seseorang yang melanggar atau mengambil hak-hak
orang lain, dapat dalam bentuk pembatalan sepihak perjanjian yang dibuatnya,
khususnya dalam masalah mu’amalah. Jarimah khianat terhadap amanah
adalah berlaku untuk setiap harta bergerak baik jenis dan harganya sedikit
maupun banyak. Orang-orang yang beriman mestinya menjauhi sifat tercela ini,
bahkan seandainya mereka dikhianati Rasulullah s.a.w. melarang untuk
membalasnya dengan pengkhianatan pula.
4. Risywah (suap)
Secara
harfiyah, suap (risywah) berarti “batu bulat yang jika dibungkamkan ke
mulut seseorang, ia tidak akan mampu berbicara apapun”. Jadi suap bisa
membungkam seseorang dari kebenaran. Menurut Ibrahim an-Nakha’i suap adalah
“Suatu yang diberikan kepada seseorang untuk menghidupkan kebathilan atau untuk
menghancurkan kebenaran”. Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz mendefinisikan
suap dengan “Memberikan harta kepada seseorang sebagai kompensasi pelaksanaan
mashlahat (tugas, kewajiban) yang tugas itu harus dilaksanakan tanpa menunggu
imbalan atau uang tip”.
Sedangkan
menurut terminologi fiqh, suap adalah “segala sesuatu yang diberikan oleh
seseorang kepada seorang hakim atau yang bukan hakim agar ia memutuskan suatu
perkara untuk (kepentingan) nya atau agar ia mengikuti kemauannya”. Baik yang
menyuap maupun yang disuap dua-duanya dilaknat oleh Rasulullah SAW. sebagai
bentuk ketidaksukaan beliau terhadap perbuatan keduanya. Rasulullah SAW.
bersabda: Suap dengan segala bentuknya haram hukumnya. Dia antara bentuk suap
adalah hadiah. Seorang pejabat haram hukumnya menerima hadiah. Bahkan termasuk
hadiah yang diharamkan bagi seorang pejabat yang meski tidak sedang terkait
perkara atau urusan, telah membiasakan saling memberi hadiah jauh sebelum
menjadi pejabat, namun setelah menduduki jabatan terjadi peningkatan volume
hadiah dari kebiasaan sebelumnya. Seorang pejabat juga haram menerima hadiah
dari seseorang yang jika bukan karena jabatannya, niscaya orang tersebut tidak
akan memberikannya. Umar bin Abdul Aziz suatu ketika diberi hadiah oleh
seseorang tapi ditolaknya karena waktu itu dia sedang menjabat sebagai
khalifah. Orang yang memberi hadiah kemudian berkata: “Rasulullah pernah
menerima hadiah”. Lalu Umar menjawab: hal itu bagi Rasulullah merupakan hadiah
tapi bagi kita itu adalah risywah (suap)”. Pokoknya setiap hadiah yang
diberikan kepada pejabat karena posisinya sebagai seorang pejabat tidak boleh
diterima dan haram hukumnya karena andaikan pejabat tersebut tidak sedang
menjabat dan hanya tinggal di rumahnya niscaya tidak akan ada orang yang
memberinya hadiah.
Seorang pejabat boleh menerima
hadiah dengan beberapa syarat:
- Pemberi hadiah bukan orang yang sedang terkait
perkara dan urusan.
- Sudah terjadi semacam tradisi saling tukar-menukar
hadiah antara pejabat tersebut dengan pemberi hadiah sebelum ia menduduki
jabatannya, baik karena pertemanan atau saudara.
Sanksi-Sanksinya
Sanksi merupakan sesuatu yang sangat
urgen kedudukannya dalam rangka penegakan supremasi hukum karena sebuah produk
hukum sehebat apapun tanpa adanya sanksi atau hukuman juga tidak memiliki
kekuatan memaksa yang sangat kuat. Kadang ditaati atau tidaknya suatu hukum
atau peraturan tergantung dari berat ringannya sanksi yang ada lebih khusus
lagi tergantung pada ditegakkannya sanksi tersebut atau tidak.
Jenis sanksi ada empat, yaitu:
pertama, al-‘Uqubah al-Asliyyah yaitu hukuman yang telah ditentukan dan
merupakan hukuman pokok seperti ketentuan qishas dan hudud.
Kedua, al-‘Uqubah al-Badaliyyah yaitu hukuman pengganti. Hukuman ini
bisa dikenakan sebagai pengganti apabila hukuman primer tidak diterapkan karena
ada alasan hukum yang sah seperti diyat atau ta’zir. Ketiga, al-‘Uqubah
al-Tab’iyyah yaitu hukuman tambahan yang otomatis ada yang mengikuti
hukuman pokok atau primer tanpa memerlukan keputusan tersendiri seperti
hilangnya mewarisi karena membunuh. Keempat, al-‘Uqubah al-Takmiliyyah
yaitu hukuman tambahan bagi hukuman pokok dengan keputusan hakim tersendiri
seperti menambahkan hukuman kurungan atau diyat terhadap al-‘Uqubah
al-Ashliyyah.
Sedangkan tujuan adanya sanksi atau
hukuman ada tiga, yaitu: pertama, al-himayah (preventif); yaitu supaya
seseorang berfikir dan menyadari akibat yang akan dialami bila suatu jarimah
dilakukan. Kedua, al-Tarbiyyah; yaitu supaya seseorang memperbaiki diri
atau menjauhkan dirinya dari jarimah dengan pertimbangan dijatuhi
hukuman yang setara dengan perbuatannya. Ketiga, al-‘Adalah; yaitu
terciptanya rasa keadilan. Jadi hukuman harus ditegakkan tanpa pandang bulu
sebagaimana hadis Rasulullah mengenai pemberlakuan potong tangan terhadap
pencuri termasuk terhadap Fatimah sekalipun putri beliau seandainya ia mencuri.
Adapun sanksi dari jenis jarimah yang telah disebutkan di atas (ghulul,
sariqah, khianat, dan risywah) akan penulis kemukakan sebagai berikut:
Pertama, sanksi atau hukuman ghulul.
Di dalam hadis-hadis Rasulullah disebutkan bahwa sanksi terhadap pelaku ghulul
adalah membakar harta ghululnya dan memukul pelakunya. Hadis yang menjelaskan
bentuk sanksi tersebut adalah hadis nomor 2598 dalam Kitab Sunan Abu Daud.
Lengkapnya sebagai berikut: “Dari Shalih bin Muhammad bin Zaidah dia berkata:
Aku pernah memasuki negeri Rumawi bersama Maslamah, lalu didatangkan kepadanya
seorang laki-laki yang melakukan ghulul. Maslamah menanyakan hal itu kepada
Salim bin Abdillah bin Umar, lalu dia berkata: Aku mendengarkan ayah menuturkan
hadis dari Umar bin Khattab r.a., Nabi s.a.w. bersabda: “Apabila kamu
mendapatkan orang melakukan ghulul, maka bakarlah barangnya, dan pukullah dia”
kata Shalih: maka kami mendapatkan sebuah mushaf di dalam barang itu, lalu
Maslamah bertanya tentang itu kepada Salim. Jawab Salim: “Juallah barangnya,
dan sedekahkanlah harganya”.
Pada hadis yang lain disebutkan
bahwa sanksi ghulul adalah dengan membakar hartanya, mengarak keliling
pelakunya dan tidak memberikan bagiannya. Diriwayatkan “dari Shalih bin
Muhammad dia berkata: pernah kami berperang bersama Walid bin Hisyam, sedang
kami bersama Salim bin Abdillah bin Umar bin Abdil Aziz. Kemudian ada seorang
laki-laki melakukan ghulul, maka Walid memerintahkan, agar barangnya dibakar.
Setelah dibakar, orang itu diarak berkeliling, dan bagiannya tidak diberikan”.
Menurut Abu Dawud hadis ini yang paling sahih di antara hadis yang lainnya.
Sanksi atau hukuman bagi
penyalahgunaan wewenang atau jabatan bahkan bisa sampai hukuman mati. Al-Sayyid
Abdurrahman bin Muhammad bin Husain yang mengutip pendapat al-Muhib al-Thabary
dari kitabnya Al-Tafqih menyatakan bahwa vonis mati boleh dijatuhkan pada
seorang pejabat negara yang menyalahgunakan tugas-tugasnya utnuk menindas
rakyat, dan hal itu disamakan dengan lima macam kefasikan (membunuh, zina,
mencuri, memutus persaudaraan dan keluar dari Islam), karena kerugian (korban)
yang diakibatkan dari kejahatan pejabat ini jauh lebih besar. Ibn Taimiyyah
menyatakan bahwa siapapun yang kalau kejahatannya hanya bisa dihentikan dengan
vonis mati, maka ia harus divonis mati, meski itu masih bagian dari ta’zir.
Ibn Taimiyyah menganalogikan kejahatan itu dengan kejahatan al-Soil.
Hukuman potong tangan bisa
dilaksanakan apabila harta yang dicuri telah sampai senisab. Adapun nisab
potong tangan adalah seperempat dinar ke atas sebagaimana hadis yang
diriwayatkan dari ‘Amrah dari ‘Aisyah ra. bahwa sesungguhnya Nabi SAW. biasa
memotong tangan karena pencuriannya senilai seperempat dinar ke atas. Hadis
tersebut begitu populer karena dikeluarkan oleh Imam Bukhori, Imam Muslim, Imam
Turmudzi, Imam an-Nasa’i, dan Imam Ibnu Majah. Hadis dengan redaksi yang hampir
sama juga diriwayatkan oleh Urwah dan ‘Amrah juga dikeluarkan oleh para Imam
yang telah disebut di atas.
Ada beberapa kasus pencurian yang
tidak dipotong tangannya, yaitu pada pencurian buah-buahan dan umbat, mencuri
untuk memakannya karena suatu hajat (di tempat itu) tanpa mengantonginya,
kemudian orang gila, dan terakhir pencurian yang dilakukan dalam peperangan.
Imam Abu Hanifah mengatakan tidak dipotong tangan pada pencurian harta dalam
keluarga yang inti karena mereka diiperbolehkan keluar masuk tanpa izin. Jadi
kasus pencurian antara suami istri tidak dipotong tangan. Menurut Imam Syafi’i
dan Imam Ahmad, seorang ayah tidak dikenai hukuman potong tangan karena mencuri
harta anaknya, cucunya, dan seterusnya ke bawah. Demikian pula sebaliknya, anak
tidak dapat dikenai sanksi potong tangan, karena mencuri harta ayahnya,
kakeknya, dan seterusnya ke atas.
Sedangkan menurut Muhammad Syahrur
hukuman bagi pencurian tidak harus dipotong tangan. Hukuman tersebut bisa
diganti dengan hukuman lain yang lebih rendah tetapi tidak boleh diganti dengan
hukuman yang lebih tinggi. Teori Muhammad Syahrur mengenai hal ini terkenal
dengan teori limit.
Hukuman pengganti potong tangan
dalam kasus pencurian menurut Ahmad Abu al-Rus bisa diganti dengan hukuman
kurungan dalam jangka waktu yang tidak lebih dari dua tahun, tetapi barang yang
dicuri hanya terbatas pada barang-barang yang ketika dicuri tidak sangat
berpengaruh terhadap korban pencurian. Namun apabila pencurian tersebut masih
diulang hakim diperbolehkan menghukum lebih dari had yang lebih tinggi
yang ditetapkan undang-undang untuk tindak pidana dengan syarat tidak melewati
kelipatan had sebelumnya.
Ketiga, sanksi atau hukuman bagi
pengkhianatan. Orang yang berkhianat tidak dikenakan potong tangan sesuai
dengan hadis Nabi:
Namun demikian pengkhianatan yang
sifatnya sariqah (pencurian) hukumannya bisa disamakan dengan sariqah
(pencurian). dalam beberapa kasus, khianat dapat dijatuhi hukuman mati.
Misalnya pengkhianatan terhadap agama (murtad) dan negara (bughat/pemberontakan),
orang yang lari dari medan pertempuran melawan kaum musyrik.
Keempat, sanksi atau hukuman
terhadap pelaku tindak kejahatan risywah (suap) bervariasi, sesuai
dengan tingkat kejahatannya; mulai dari sanksi material, penjara, pemecatan
jabatan, cambuk, pembekuan hak-hak tertentu sampai hukuman mati. Hal ini karena
tidak ada nash qath’i yang berkaitan dengan tindak pidana ini. Sanksi
Material (al-Ta’zir bi al-Mal) adalah bentuk hukuman material, yaitu
dengan cara menyita harta yang dijadikan pelicin atau suap, kemudian dimasukkan
ke dalam kas negara. Para ulama’ berbeda pendapat tentang kebolehan sanksi ini,
namun terlepas dari pro dan kontra, sanksi ini cukup efektif untuk membuat para
pelakunya jera.
Bentuk sanksi material bisa berupa
1). Al-Itlaf, perusakan atau penghancuran sebagaimana pemusnahan minuman
keras dan penghancuran sarananya, 2). Al-Taghyir (mengubah), sebagaimana
merubah tempat maksiat menjadi tempat yang bermanfaat, 3). Al-Tamlik
(penguasaan/pemilikan) sebagaimana tindakan sahabat Umar ra. menyita dan
kemudian memasukkan hadiah yang diberikan kepada Abu Hurairah ke dalam Baitul
Mal.
Sanksi Penahanan dalam terminologi
fiqh yuridis penahanan (al- hubs) berarti menunda dan mencegah seseorang
(terdakwa) dari kebebasan bertindak.
Dalam lintasan sejarah Islam yakni
pada masa khalifah Umar bin Khattab, beliau pernah membeli rumah dari Shafwan
bin Umayyah seharga 4000 dirham kemudian ia jadikan sebagai penjara. Dari
sinilah mulai ada rumah tahanan dalam Islam.
Sanksi Pemecatan Jabatan. Yang
dimaksud di sini adalah penghentian segala keterikatan kerja yang berkaitan
dengan jabatan. Rasulullah pernah memecat jabatan komandan yang dipegang Sa’ad
bin ‘Ubadah. Para ulama’ mazhab Hanafi dan Syafi’i menetapkan sanksi ini kepada
para pejabat yang melakukan tindak kriminal suap. Selanjutnya adalah Sanksi
Mengulangi Kejahatan. Orang yang telah pernah melakukan kejahatan kemudian
mengulanginya lagi maka dia bisa dikenakan unsur pemberatan hukuman.
Kesimpulan
Sebagai hasil dari penelitian ini
maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Konsepsi hukum Islam tentang korupsi khususnya di
Indonesia paling tidak ada empat, yaitu ghulul (penyalahgunaan
wewenang), sariqah (pencurian atau penggelapan), khianat,
dan risywah (suap atau sogok).
- Apabila korupsi uang Negara dilakukan oleh
pejabat yang diberi amanat mengelola, maka termasuk pengkhianatan dan ghulul.
Apabila korupsi uang negara dilakukan oleh orang yang tidak diberi amanat
mengelola dengan cara mengambil dari tempat simpanan, maka dikategorikan
pencurian dan ghulul. Kemudian apabila korupsi uang negara
dilakukan oleh orang yang diserahi uang atau barang dan dia tidak mengakui
menerima uang atau barang tersebut, maka dikategorikan ghulul dan
pengkhianatan. Terakhir apabila warga biasa memiliki prakarsa untuk
mengeluarkan dana, hadiah, jasa atau barang lainnya sebagai suap (bribery)
kepada pejabat untuk memperlancar atau untuk memenuhi
tuntutan/permohonannya, atau apabila prakarsa datangnya dari pejabat atau
aparatur negara sebagai bentuk pemerasan (extortion), maka kedua hal
tersebut termasuk kategori risywah.
- Untuk memberantas korupsi yang sudah merajalela,
paling tidak ada empat usaha yang harus segera dilakukan, yaitu: Pertama,
Memaksimalkan Hukuman. Kedua, Penegakan Supremasi Hukum. Ketiga,
Perubahan dan Perbaikan Sistem. Keempat, Revolusi Kebudayaan
(mental).